MASUKNYA SPESIES ASING  DARI LUAR NEGERI
DAPAT MENJADI AWAL BENCANA


Oleh :
Wahono Diphayana



Ada sebuah sebuah berita mengenai hewan unta di Australia. Ribuan unta liar yang kehausan akibat kekeringan yang panjang telah menyerbu kota Docker River, sebuah kota kecil di negara bagian Northern Territory, Australia. Dalam upaya mencari air, binatang-binatang ini menghancurkan pagar, memecahkan tangki-tangki serta mencemari persediaan air warga. [1]

Sebagian unta, yang pertama kali dibawa ke Australia pada tahun 1840-an sebagai tunggangan mengarungi gurun pasir,  telah menjadi liar dan terus berkembang biak. Saat ini terdapat sekitar satu juta unta liar, yang menjadi pesaing domba dan sapi di dalam mencari makanan, disamping memasuki kawasan penduduk dan merusak rumah untuk mencari air. Selama tahun 2009 ini pemerintah Australia berencana membunuh 650.000 ekor unta-unta liar ini dengan biaya sebesar 19 juta dollar.[2]

Australia juga punya pengalaman serupa dengan kelinci. Pada tahun 1759, Thomas Austin dari Inggris membawa 24 ekor kelinci ke Australia dan melepaskannya sebagai obyek olah raga berburu. Tiadanya musuh alami menyebabkan kelinci tersebut berkembang biak dengan pesatnya dan sekarang jumlahnya yang jutaan telah menjadikannya sebagai hama pertanian yang penting.[3]

Suatu spesies hewan atau tanaman asing sering dimasukkan dengan sengaja atau terbawa masuk tanpa sengaja ke suatu negara. Ada yang kemudian memberikan manfaat bagi penduduk di negara yang dimasukinya dan banyak juga menimbulkan  permasalahan seperti kasus unta dan kelinci di Australia.

Bagaimana dengan Indonesia?  Di bidang pertanian, cukup banyak contoh spesies asing yang dimasukkan dari luar negeri, seperti kelapa sawit, kakao, teh dan lele dumbo, yang setelah dikembangkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi kesejahteraan penduduk dan perekonomian nasional. Tanaman kelapa sawit yang berasal dari Mauritius pertama kali dimasukkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848 sebanyak 4 batang, dan ditanam di Kebun Raya, Bogor.[4]  Tanaman kakao pertama kali diperkenalkan oleh orang Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi Utara.[5]  Tanaman teh pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1684 berupa biji yang dibawa dari Jepang oleh orang Jerman bernama Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di Jakarta.[6] Lele dumbo, komoditas perikanan yang sangat populer di kalangan masyarakat, pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1984 dari Afrika.[7]

Masuknya spesies asing ke Indonesia ternyata banyak juga yang merugikan. Contoh yang paling populer adalah  eceng gondok  dan bekicot. Eceng gondok, yang berasal dari Amerika Selatan, pertama kali dimasukkan ke Indonesia sebagai tanaman hias melalui Kebun Raya Bogor pada tahun 1921. Akibat kecepatan tumbuhnya, saat ini telah menjadi gulma perusak lingkungan perairan seperti sungai dan danau.[8]  Pada tahun yang sama, bekicot yang berasal dari Afrika masuk ke Sumatera melalui Singapura. Lima tahun kemudian pada tahun 1926, hewan ini telah masuk ke pulau Jawa sebagai binatang peliharaan yang dikirim melalui pos paket. Bekicot kemudian berkembang biak menjadi hama sayuran yang penting. Untungnya sekarang banyak dicari orang, karena dagingnya bisa diekspor.[9]

Disamping kedua contoh di atas, terdapat sederet panjang contoh masuknya berbagai jenis spesies asing ke Indonesia dan saat ini telah menjadi hama pertanian yang penting. Pada tahun 1876, dari Srilanka masuk penyakit karat daun pada kopi, yang disebabkan oleh cendawan Hemileia vastatrix. Sejak itu sang cendawan menjadi penghancur  tanaman kopi terutama yang ditanam di dataran rendah. Pada tahun 1909, hama tanaman kopi bertambah dengan masuknya kumbang penggerek buah kopi bernama Stephanoderes hampei yang berasal dari Afrika. [10]  

Tahun 1949, penyakit cacar teh (blister blight) yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans masuk ke Indonesia dari Srilanka. Penyakit cendawan ini pertama kali diketemukan di Sumatera Utara, dan pada tahun 1951 telah menyebar ke perkebunan teh di Jawa yang menyebabkan turunnya produksi antara 20 sampai 50 persen.[11] Di awal tahun 1980, keong emas (golden apple snail) dengan nama latin Pomacea canaticulata dimasukkan ke Indonesia dari Taiwan sebagai fauna kuarium. Binatang ini kemudian menyebar ke seluruh Indonesia dan menjadi hama tanaman padi yang sangat penting. Dengan kepadatan populasi 10-15 ekor per meter persegi, keong emas mampu menghabiskan tanaman padi muda dalam waktu 3 hari.[12]

Pada tahun 1982 diketemukan penyakit baru pada pisang yang dikenal sebagai bunchy top virus. Tidak diketahui dari mana dan melalui apa masuknya, tapi sekarang si virus baru tersebut telah menyebar ke seluruh Indonesia menjadi salah satu penyakit utama pisang.[13] Pada tahun 1986 diketemukan penyakit hangus daun (leaf scorch) yang menyerang tanaman tebu di Lampung dan disebabkan oleh cendawan yang bernama Stagonospora sacchari. Cendawan baru ini masuk melalui bibit tebu yang dibawa dari Brazil oleh seorang konsultan dari Amerika Serikat untuk keperluan uji coba.[14]  Selanjutnya, pada tahun 2003 pertama kali diketemukan di Batu, Jawa Timur, penyakit yang menyerang tanaman kentang yang disebabkan oleh nematoda sista kuning (Globodera rostochiensis) yang sebelumnya tidak ada di Indonesia. Cacing kecil  ini diperkirakan masuk ke Indonesia melalui impor bibit kentang dari Eropa.[15]
  
Spesies hewan dan tanaman baru yang dengan sengaja dibawa atau terbawa dari luar negeri dapat menjadi awal bencana. Bagi pertanian Indonesia, masuknya spesies asing dapat menjadi hama. Hama tersebut dapat menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak lingkungan, dan merusak kelestarian sumber daya pertanian, yang seringkali menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Karena alasan itulah, mengapa banyak jenis spesies asing yang dilarang masuk ke Indonesia, ataupun kalau diperbolehkan harus memenuhi berbagai persyaratan dan harus melalui pemeriksaan karantina.


* Penulis adalah pengamat masalah perkarantinaan  dan SPS (sanitary and phytosanitary measures).



[1] “Ratusan unta kehausan serbu kota di Australia”. KOMPAS.com, 26 Nopember 2009
[2]Unta-unta Australia dibantai secara massal”,  http://dunia.vivanews.com/news
[3] “History of rabbits”, http://www.dszoo.com/forum/showthread.php?
[4] “Sejarah kelapa sawit”, http://rhephi.wordpress.com/2007/10/28/sejarah-kelapa-sawit
[5] “Sejarah perkembangan kakao”, http://vheak4107073.wordpress.com
[6] “Sejarah teh di Indonesia dan manfaatnya”, http://travelogue.multiply.com/journal
[7] “Pembenihan ikan lele dumbo”, http://bbat-sukabumi.tripod.com
[8] “Eceng gondok”, http://id.wilkipedia.org/wiki/Eceng gondok
[9] Pusat Karantina Pertanian. 1999. Konsep Dasar Rencana Pembangunan Karantina Pertanian (Tahun 2000-2005). Pusat Karantina Pertanian, Jakarta.
[10] Dano, T. 1977. Seratus Tahun Karantina Tumbuh-tumbuhan Indonesia. Direktorat Karantina Tumbuh-Tumbuhan, Deptan, Jakarta.
[11] Pusat Karantina Pertanian. 1999. Konsep Dasar Rencana Pembangunan Karantina Pertanian (Tahun 2000-2005). Pusat Karantina Pertanian, Jakarta.

[12] Sulistiono. 2007. Keong Mas “Si Lelet” Perusak Padi. http://nusaku.com/forum
[13] Consortium on Micropropagation Research and Technology. 2008. Virus Diagnosis and Clonal Fidelity. http://www.dbtmicropropagation.nic.in
[14] Surahmat. 1986. “Leaf scorch”. Buletin Media Quaranta, Edisi Juni.
[15] Noerahman dan Suwardi. 2003. “Laporan hasil kunjungan lapangan terhadap dugaan adanya serangan golden nematode (Globodera rostochiensis) pada tanaman kentang di Jawa Timur”. Badan Karantina Pertanian, Jakarta.

Comments