DI MASA DEPAN ATURAN  SPS AKAN MENJADI PENGHAMBAT PERDAGANGAN INTERNASIONAL YANG PENTING

Oleh :
Wahono Diphayana



Dalam Kompas hari Kamis, tanggal 10 September 2009, terdapat satu berita mengenai aturan Departemen Pertanian yang dinilai menghambat aliran barang di pelabuhan. Salah satu aturan tersebut adalah tentang penetapan paket barang yang dibungkus kayu, sebagai obyek karantina, yang merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/2009 tentang Persyaratan dan Tata Cara Tindakan Karantina Tumbuhan Terhadap Pemasukan Kemasan Kayu ke Dalam Wilayah RI.  Menanggapi keberatan Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri Kantor Menko Perekonomian, Putra Irawadi, Menteri Pertanian menyatakan bahwa ekspor barang Indonesia mendapat perlakuan yang sama di luar negeri, ,menggunakan standar sanitary and phytosanitary (SPS). Selanjutnya Kepala Badan Karantina Pertanian, Hari Priyono, menjelaskan bahwa kebijakan di atas merupakan implementasi aturan SPS-WTO, dimana negara lain sudah lama memberlakukannya.

Apakah SPS itu?

Sanitary adalah kesehatan manusia dan hewan, sedangkan phytosanitary adalah kesehatan tumbuhan atau tanaman. Kesepakatan internasional terkait SPS  (Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures) merupakan salah satu kesepakatan yang ditandatangani Indonesia dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995..

Kesepakatan SPS serta kesepakatan lainnya dalam kerangka GATT, berlaku dan mengikat secara global, dan Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization

Kesepakatan SPS pada intinya merupakan kesepakatan yang menyangkut masalah kesehatan dan perdagangan internasional. Dari aspek kesehatan, SPS merupakan tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan  atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan :
        dari resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme  penyebab penyakit;
        dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives), kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan;
        dari penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat daripadanya; dan
        mencegah atau membatasi bahaya atau kerugian lainnya di dalam wilayah negara anggota dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Aspek kesehatan dari kesepakatan SPS pada dasarnya mempunyai arti bahwa anggota WTO dapat melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola risiko yang berhubungan dengan impor-ekspor, yang biasanya dalam bentuk persyaratan karantina dan keamanan pangan.

Aspek perdagangan internasional dalam kesepakatan SPS menyatakan bahwa dalam usaha melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, anggota WTO tidak seharusnya menggunakan ketentuan SPS yang tidak diperlukan, tidak didasarkan pada pertimbangan ilmiah, tidak mengada-ada, atau secara tersamar membatasi perdagangan internasional.

Kesepakatan SPS dijalankan oleh the SPS Committee (Komite SPS), dimana semua anggota WTO dapat berpartisipasi. Komite SPS merupakan forum konsultasi anggota WTO yang secara regular bertemu membahas permasalahan terkait SPS.

Hak dan kewajiban utama anggota WTO adalah sebagai berikut.
a.      Anggota mempunyai hak untuk menjalankan ketentuan SPS yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan selama ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS.
b.      Anggota akan menjamin bahwa ketentuan SPS diterapkan hanya untuk kepentingan menjaga kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah, dan tidak diberlakukan tanpa adanya bukti ilmiah yang cukup.
c.      Anggota akan menjamin tidak akan menerapkan ketentuan SPS secara sewenang-wenang atau melakukan diskriminasi antar anggota apabila kondisi yang sama terpenuhi, termasuk antara wilayah sendiri dengan wilayah anggota lain. Ketentuan SPS tidak akan diterapkan dengan tujuan tersembunyi untuk membatasi perdagangan internasional.
d.      Ketentuan SPS yang sesuai dengan persyaratan yang relevan dalam kesepakan ini akan dijalankan sesuai dengan kewajiban anggota.

Prinsip utama dalam kesepakatan SPS adalah harmonisasi, kesetaraan, tingkat perlindungan yang sesuai (appropriate level of protection, ALOP), penilaian risiko, kondisi regional dan transparansi.

  1. Harmonisasi
Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masing-masing dengan mengacu pada persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS. Namun demikian, dalam menetapkan ketentuan SPS anggota WTO diharapkan berpedoman pada standar internasional, pedoman dan rekomendasi yang ada agar prinsip harmonisasi dapat dicapai. Terdapat tiga lembaga internasional yang menyusun standar internasional, pedoman dan rekomendasi. Lembaga tersebut adalah :
    • International Plant Protection Convention (IPPC) yang menangani masalah kesehatan tumbuhan;
    • World Organization for Animal Health atau Organization Internationale de Ephyzootic (OIE) yang menangani masalah kesehatan hewan; dan
    • Codex Alimentarius Commission (Codex), yang menangani masalah keamanan pangan.

  1. Kesetaraan
Kesepakatan SPS mensyaratkan bahwa negara pengimpor menerima ketentuan SPS negara pengekspor untuk menjaga prinsip kesetaraan selama negara pengekspor secara obyektif menunjukkan pada negara pengimpor bahwa semua ketentuan SPS yang dijalankan mencapai ALOP negara pengimpor. Kesepahaman tentang kesetaraan dapat dicapai melalui konsultasi bilateral dan berbagi informasi teknis.

  1. Tingkat Perlindungan Yang Sesuai (Appropriate Level of Protection, ALOP)
Tingkat perlindungan yang sesuai (ALOP) adalah tingkat perlindungan yang dianggap sesuai oleh anggota WTO untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dalam wilayahnya. Masing-masing anggota WTO mempunyai hak untuk menetapkan ALOP bagi negaranya. Namun demikian, setiap anggota perlu mempertimbangkan untuk meminimalkan efek negatif terhadap perdagangan.

  1. Penilaian Risiko
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk mendasarkan ketentuan SPS mereka pada hasil penilaian risiko, sesuai dengan kondisi yang ada. Dalam melaksanakan penilaian risiko, anggota WTO disyaratkan untuk menggunakan teknik penilaian risiko yang dikembangkan oleh organisasi internasional yang relevan.

  1. Kondisi Regional
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk menyesuaikan ketentuan SPS mereka dengan kondisi regional dari mana produk berasal dan kemana produk ditujukan. Kondisi regional diartikan sebagai karakteristik SPS suatu wilayah geografis yang dapat merupakan seluruh wilayah dari suatu negara, sebagian wilayah dari suatu negara, dan seluruh atau sebagian wilayah  dari beberapa negara. Hal ini dapat mempengaruhi besar kecilnya risiko terhadap kehidupan  atau manusia , hewan, atau tumbuhan. Secara khusus, anggota WTO disyaratkan untuk menyampaikan informasi tentang konsep area bebas OPT (pest/disease free areas) atau area dengan kejadian OPT rendah (areas of low pest/disease prevalence).

  1. Transparansi
Prinsip transparansi mensyaratkan anggota WTO untuk menyediakan informasi tentang ketentuan SPS mereka dan menyampaikannya apabila ada perubahan dalam ketentuan tersebut. Anggota WTO juga disyaratkan untuk mempublikasikan peraturan SPS mereka.

Kewajiban pemeriksaan pemasukan kemasan kayu dari luar negeri, yang di Indonesia ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/2009, merupakan peraturan yang didasarkan pada standar internasional yang dikeluarkan oleh  IPPC (International Plant Protection Convention (IPPC), yaitu  ISPM No. 15 (2002) Guidelines for regulating wood packaging material in international trade.

IPPC  merupakan sebuah organisasi resmi yang menangani masalah kesehatan tumbuhan dibentuk oleh Food and Agriculture Organization (FAO), dan dilaksanakan melalui kerjasama antar pemerintah negara anggota dan Regional Plant Protection Organization (Organisasi Perlindungan Tumbuhan Regional). IPPC disetujui di bulan Nopember 1951 pada Sixth Session dari Konperensi FAO yang dilaksanakan di Roma, Italia, dan mulai berlaku tanggal 3 April 1952, setelah tiga negara, Spanyol, Sri Lanka dan Chili, meratifikasinya. IPPC dicatatkan di Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 29 Nopember 1952 dengan nomor 1963. IPPC dijalankan oleh Commission on Phytosanitary Measures (CPM),  yang antara lain menyetujui International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM atau Standar Internasional Untuk Ketentuan Phytosanitary).

Tujuan dari IPPC adalah untuk mengkoordinasikan kegiatan pencegahan masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan (OPTK) ke dan antar negara, dan mempromosikan metode yang sesuai untuk pengendaliannya.

Saat ini IPPC memiliki 170 negara anggota. Indonesia merupakan salah satu penandatangan Konvensi tersebut, dan meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 juncto Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1990 tentang Pengesahan International Plant Protection Convention.

Revisi teks IPPC terladi dua kali. Yang pertama, persetujuan revisi teks pada Twentieth Session, Konperensi FAO, pada bulan Nopember 1979, dan mulai berlaku secara resmi mulai tanggal 4 April 1991. Yang kedua, persetujuan revisi teks pada Twenty-ninth Session, Konperensi FAO, pada bulan Nopember 1997, dan mulai berlaku secara resmi mulai tanggal 2 Oktober 2005.

IPPC mengembangkan International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM). Sampai saat ini, sekitar 31 ISPM telah dipublikasikan, yang salah satunya adalah ISPM No. 15 (2002) Guidelines for regulating wood packaging material in international trade. Standar tersebut dibuat dengan maksud untuk menciptakan aturan yang seragam (harmonized regulation) dan berlaku secara universal untuk kemasan kayu yang dipergunakan dalam perdagangan internasional, dengan tujuan untuk mengurangi risiko penyebaran hama penyakit karantina melalui kemasan kayu. Dengan adanya standar tersebut,diharapkan dapat dicegah timbulnya aturan yang beraneka ragam yang dibuat dan diterapkan secara sepihak oleh setiap negara terhadap kemasan kayu yang dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran perdagangan internasional. 

Sejak awal 2005 banyak negara memberlakukan ketentuan ISPM No. 15, khususnya tentang cara perlakuan dan sertifikasi (marking) kemasan kayu. Tidak dipenuhinya ketentuan tentang ISPM No. 15 telah menyebabkan berbagai hambatan ekspor, termasuk produk ekspor Indonesia, dari mulai perlakuan ulang sampai dengan penolakan oleh otoritas negara tujuan. Mengingat standar tersebut banyak memuat ketentuan baru yang merubah secara mendasar sistem sertifikasi dan pemeriksaan karantina untuk kemasan kayu, pemberlakuan standar tersebut oleh negara-negara mitra dagang Indonesia  perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya agar tidak menghambat kelancaran ekspor Indonesia.  Pelaksanaan perlakuan dan sertifikasi kemasan kayu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang telah teregistrasi. Di Indonesia perusahaan kemasan kayu tersebut diregistrasi oleh Badan Karantina Pertanian.

Walaupun selalu dikatakan bahwa tujuan pembentukan WTO dan dilaksanakannya perdagangan bebas adalah untuk mengurangi berbagai hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan non tarif, tetapi dalam kenyataannya walaupun hambatan tarif dalam bentuk bea masuk sudah turun atau bahkan nol persen, akan tetapi hambatan non tarif dalam bentuk hambatan sanitary dan phytosanitary, telah menjadi hambatan perdagangan yang penting dewasa ini.

Barangkali kita masih ingat bagaimana produk susu dari China ditolak berbagai negara karena mengandung melamin, atau permen cap kelinci dari China yang dilarang beredar di Indonesia karena terkontaminasi formalin. Contoh lainnya hambatan perdagangan internasional akibat ketentuan SPS adalah ditolaknya  produk susu dan produk ternak dari Eropa masuk ke berbagai negara karena adanya penyakit sapi gila, ditolaknya produk buah-buahan dan sayuran Indonesia oleh berbagai negara karena adanya lalat buah Bratocera dorsalis dan Bratocera cucurbitae di Indonesia, ditolaknya daging sapi dari berbagai negara masuk ke Indonesia karena adanya penyakit mulut dan kuku di negara pengekspor, dihentikannya impor poultry meat meal (PMM) dari Spanyol dan dimusnahkan serta direekspornya puluhan kontainer produk makanan unggas ini oleh Indonesia karena ternyata mengandung bahan asal tulang sapi yang merupakan meat bone meal (MBM) yang ditakutkan dapat membawa penyakit sapi gila, harus difumigasinya kontainer yang membawa berbagai produk ekspor Indonesia ke Australia dengan dosis tinggi untuk memusnahkan hama bekicot atau Giant African Snail (GAS) yang belum ada di Australia, dan unggas serta produk unggas Indonesia ditolak masuk ke berbagai negara karena adanya penyakit Avian Influenza di dalam negeri.

Dalam upaya meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar internasional,  mau tidak mau Indonesia harus mengikuti dan memenuhi berbagai standar internasional  terkait masalah sanitary dan phytosanitary, yang artinya harus bebas dari berbagai bahan aditif, kontaminan, hama dan penyakit yang dapat merugikan bukan hanya kesehatan manusia tapi juga kesehatan hewan dan tumbuhan.

Kita juga tidak mungkin membiarkan berbagai jenis produk impor bebas masuk ke Indonesia tanpa memenuhi standar sanitary dan phytosanitary yang telah ditetapkan, sementara di lain pihak ekspor kita  ke luar mengalami berbagai hambatan atau penolakan karena dianggap tidak memenuhi standar tersebut.


  • Penulis adalah pengamat masalah SPS.



Comments