Arti Penting Karantina Tumbuhan Di Indonesia
ARTI
PENTING KARANTINA TUMBUHAN DI INDONESIA
Oleh :
Wahono Diphayana
Abstract
Plant
quarantine means a place of containment and or measures in effort to prevent
the introduction into, further spread from an area to another within, or
exportation from the territory of the Republic Indonesia of plant pests and
diseases. Plant quarantine has a vital role in the protection of Indonesian
agriculture. Plant pests and diseases can cause the decrease of production,
decrease of quality, increase of cost control, damage of environment, and
obstacle of export of agricultural products. The damage caused by plant pests
and disease has often caused instability in the economy and national food
security. Some aspects related to plant quarantine including the objective of
plant quarantine, the meaning of quarantine and plant quarantine, the examples
of quarantine plant pests and diseases, and the importance of plant quarantine
in Indonesian agricuilture, have been
reviewed.
Pendahuluan
Secara umum, bagi Indonesia yang merupakan negara
agraris, karantina tumbuhan mempunyai arti yang sangat penting, terutama dalam
upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama penyakit tumbuhan (selanjutnya
disingkat HPT), seperti serangga, virus, bakteri, cendawan, dan gulma, yang
belum ada di Indonesia, yang dapat menghancurkan pertanian Indonesia. Serangan HPT
tersebut dapat menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya
pengendalian, merusak lingkungan, merusak kelestarian sumber daya pertanian dan
menghambat ekspor. Kerusakan yang ditimbulkan oleh HPT seringkali menimbulkan
dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan
nasional. Dalam perdagangan internasional, karantina tumbuhan seringkali
dimasukkan sebagai hambatan non tarif, dikarenakan adanya HPT tertentu di suatu
negara menyebabkan ditolaknya produk pertaniannya oleh negara lain.
Tulisan ini akan membahas bagaimana pentingnya pertanian
di Indonesia, besarnya kerugian akibat serangan HPT, tujuan karantina tumbuhan,
pengertian karantina dan karantina tumbuhan, berbagai contoh HPT karantina yang
belum ada maupun sudah masuk ke Indonesia dan sekarang menjadi hama atau
penyakit yang merusakkan berbagai jenis
tanaman yang mempunyai arti penting dalam perekonomian Indonesia.
Indonesia
Sebagai Negara Agraris
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan
berbagai sumber daya alam hayati, termasuk berbagai jenis flora dengan berbagai
keunikan dan keanekaragamannya, sehingga Indonesia dinyatakan sebagai salah
satu negara di dunia dengan mega-biodiversity.
Indonesia dengan luas daratan yang hanya 1,3% dari keseluruhan permukaan bumi,
kaya dengan berbagai spesies flora. Sebagai contoh, Indonesia memiliki sekitar
27.500 spesies tumbuhan berbunga, atau lebih dari 10% dari tumbuhan
berbunga di dunia (Ditjen Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam, 2001). Berbagai jenis tumbuhan telah memberikan
sumbangan sebagai bahan obat-obatan, sumber bahan pangan, bahan baku industri
dan berbagai keperluan lainnya.
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki daratan seluas
181 juta hektar, dimana 86% merupakan lahan pertanian. Sektor pertanian
merupakan penggerak utama pembangunan ekonomi nasional dan regional dengan
kontribusinya terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan dari
ekspor, penyediaaan makanan dan bahan baku untuk industri, penciptaan
kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik
(2006), dalam tahun 2005 PDB sektor pertanian secara umum (termasuk kehutanan
dan perikanan) pada harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 254.391,3 miliyar. Ini
terdiri dari tanaman pangan sebesar Rp. 125.757,5 milyar, non tanaman pangan
sebesar Rp. 40.429,9 milyar, peternakan dan produknya sebesar Rp. 32.581,9
milyar, kehutanan sebesar Rp. 16.981,9 milyar dan perikanan Rp. 38.640,8
milyar.
Tingkat pertumbuhan PDB pada harga
konstan tahun 2000 untuk sektor pertanian pada tahun 2005 adalah 2,49 persen,
dan dalam tahun 2004 sebesar 3,26 persen. Persentase
distribusi dari PDB pada harga bersangkutan pada tahun 2005 sebesar 13,40
persen dan dalam tahun 2004 sebesar 14,59 persen. Selama periode 2000-2003,
rata-rata tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 1,83 persen per
tahun, lebih tinggi dari masa krisis (1998-1999) yang hanya 0,88 persen per
tahun, dan periode sebelum krisis (1983-1997) sebesar 1,57 persen per tahun.
Di Indonesia
sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja
paling besar (sekitar 44,2 % dari seluruh tenaga kerja). Dengan total ekspor
komoditas pertanian sebesar 22,8 juta ton atau senilai US$12,2 juta pada tahun
2005, Indonesia menduduki peringkat ke-20 negara eksportir terbesar komoditas
pertanian di dunia. Berdasarkan produk Domestik Bruto (PDB) periode 2000-2005,
sektor pertanian memiliki pangsa sebesar 14.9% (Direktorat Statistik Ekonomi
dan Moneter, 2005).
Bukti empiris menunjukkan bahwa selama krisis ekonomi
tahun 1998-1999, sektor pertanian menjadi lebih resisten terhadap tekanan
eksternal dibanding sektor lain, sehingga sektor pertanian menjadi penyangga
ekonomi nasional, khususnya dalam memasok makanan, sumber pendapatan,
kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pertanian juga
telah menjadi sektor utama di dalam pembangunan pedesaan melalui pembangunan
perusahaan berbasis pertanian. Dengan pertumbuhan yang konsisten dan penyerapan
tenaga kerja yang sangat besar, sektor pertanian telah memberikan kontribusi
yang berkelanjutan di dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
Kerugian
Akibat HPT
Pembangunan
pertanian di Indonesia, yang merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional, bertujuan antara lain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil
pertanian, guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, kebutuhan bahan baku
industri maupun mengisi pasar dalam negeri dan memperluas pasar luar negeri untuk
menambah sumber devisa. Usaha peningkatan kualitas dan kuantitas hasil produksi
pertanian selama ini masih mengalami berbagai kendala. Kendala tersebut di
antaranya adalah ancaman HPT pada hasil pertanian. Serangan HPT tersebut dapat
menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian,
merusak lingkungan, merusak kelestarian sumber daya pertanian dan menghambat
ekspor. Kerusakan yang ditimbulkan oleh HPT ini seringkali menimbulkan dampak
yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional.
Menurut Departemen Pertanian (2003), dalam kurun waktu
1998-2001, serangan HPT pada tanaman
padi, jagung dan kedelai telah menimbulkan kerugian sekitar Rp. 463 milyar
setiap tahun. Serangan HPT pada beberapa tanaman perkebunan di tahun 1999 telah
menimbulkan kehilangan produksi dengan potensi kerugian mencapai Rp. 340
milyar. Berdasarkan rata-rata serangan tahun 1999-2003, kerugian potensial di tingkat
petani karena serangan HPT hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah,
cabai, kentang, kubis dan tomat) diasumsikan rata-rata sebesar Rp. 1,7 triliun
per tahun. Kerugian secara nyata di lapangan tentu lebih besar karena belum
mencakup data semua jenis HPT dan tanaman yang terserang.
Kerugian atau kerusakan akibat HPT terhadap manusia
seringkali sangat dahsyat. Contoh yang paling klasik adalah peristiwa tragis
yang dialami oleh Irlandia sekitar 150 tahun yang lalu. Selama pertengahan abad
19 populasi penduduk Irlandia sangat meningkat, membuat negara ini menjadi
negara yang paling padat penduduknya di Eropa. Untuk mengimbangi pertambahan
penduduk yang makin pesat ini, maka penanaman kentang sebagai makanan pokok
diperluas dan diharapkan bahwa hasil panen kentang tersebut akan bisa memenuhi
kebutuhan makanan penduduk. Akan tetapi kemudian muncul outbreak dari penyakit blight
yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora
infestans pada pertanaman kentang di sana. Akibatnya seluruh pertanaman
kentang di Irlandia menjadi hancur, yang menyebabkan terjadinya kelaparan hebat
di seluruh Irlandia pada tahun 1845. Sekitar satu juta penduduk Irlandia mati
kelaparan dan penduduk lainnya berbondong-bondong melakukan migrasi
besar-besaran ke luar negeri.
Pada tahun 1908 telah masuk ke Amerika Serikat (AS) hama
kapas Anthonomus grandis, dari Meksiko.
Sejak saat itu menjadi hama perusak kapas yang paling ganas di AS bagian
selatan. Empat tahun sejak hama ini masuk, produksi kapas di AS hanya tinggal
sepertiganya. Biaya pemberantasannya diperkirakan sebesar $375 juta per tahun.
Biaya tersebut meningkat sampai $900 juta pada tahun 1955, ketika timbul outbreak. Di awal tahun 1920, Departemen
Pertanian AS memperkirakan bahwa setiap warga negara Amerika mengeluarkan
tambahan $10 setiap tahun untuk pakaian sebagai akibat kerusakan perkebunan
kapas oleh hama ini (Pusat Karantina Pertanian, 1999b).
Di Indonesia, sebagai contoh dapat kita lihat dari
kerugian yang yang diderita akibat serangan
penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem
Degeneration) pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Penyakit ini
pertama kali diketemukan di daerah sentra jeruk di Garut, Jawa Barat, pada
tahun 1964. Akibat serangan CVPD memang dahsyat, terutama terlihat di Jawa
Barat. Sebelum tahun 1964 areal pertanaman jeruk di Jawa Barat luasnya 14.679
ha dengan produksi 140.448 ton. Tetapi pada tahun 1969 telah merosot secara
drastis sampai hanya tinggal 1.976 ha dengan produksi 512 ton saja (Diphayana,
1976). Jutaan pohon jeruk di Jawa Barat telah musnah. Pada tahun 1980, sejak
serangan pertama CVPD, diperkirakan sekitar satu juta pohon jeruk telah mati.
Antara tahun 1964 dengan 1969 diperkirakan kerugian petani jeruk mencapai nilai
Rp. 13,997 milyar, dengan harga jeruk pada waktu itu Rp. 100,00 per kg (Suwanda
dan Surachmat, 1983). Dengan harga sekarang, tentunya nilai kerugian petani jeruk
akibat CVPD sangat besar sekali.
Pertanaman kakao di Indonesia saat ini tengah diserang
oleh hama penggerek buah kakao (PBK) yang disebabkan oleh serangga Conopomorpha
cramerella. Serangga ini mampu mengurangi produksi kakao antara 50% sampai
80%, apalagi kalau digabungkan dengan kerusakan hama kakao lainnya, yaitu Helopeltis sp, kerusakaan yang
ditimbulkan akan lebih hebat lagi. Hama ini telah ada di beberapa bagian
wilayah Asia Tenggara sejak 150 tahun yang lalu. PBK pertama kali mewabah di Toli-toli,
Sulawesi Tengah, dan pada tahun 2004 menyebar luas ke seluruh Sulawesi dan
menyerang pertanaman kakao seluas 300.000 ha milik petani di sana. Saat ini PBK
telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Untuk Sulawesi saja, kerugian
yang ditimbulkan hama PBK ini diperkirakan mencapai US$150 juta per tahun, yang
hampir seluruhnya menjadi tanggungan petani kakao (Nugroho, Ramin dan Adi, 2005).
Tujuan
Karantina Tumbuhan
Tujuan dari karantina tumbuhan secara umum adalah
mencegah masuk dan tersebarnya HPT, dari suatu daerah ke daerah lain dengan
jalan undang-undang. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan, karantina tumbuhan bertujuan :
a)
mencegah masuknya HPT karantina dari luar negeri ke dalam
wilayah negara RI;
b)
mencegah tersebarnya HPT karantina dari suatu area ke
area lain dalam wilayah negara RI; dan
c)
mencegah keluarnya HPT tertentu dari wilayah negara RI
apabila negara tujuan menghendakinya.
Yang dimaksud dengan area meliputi daerah dalam suatu
pulau, atau pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik
Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran HPT.
Dewasa ini Indonesia masih bebas dari sekitar 583 jenis HPT
karantina. Sedangkan sekitar 1.200 jenis HPT lainnya sudah terdapat di Indonesia,
dan sekitar 103 jenis belum menyebar ke semua area atau pulau di Indonesia. Di
samping itu berbagai jenis HPT yang sudah ada di Indonesia belum terdapat di
berbagai negara lain. Semakin meningkatnya volume dan frekuensi lalu lintas
perdagangan hasil pertanian telah mengakibatkan risiko penularan dan penyebaran
HPT menjadi semakin meningkat pula. Oleh karena penyebarannya terutama melalui
perdagangan, maka lalu lintas hasil pertanian perlu diatur, antara lain melalui
karantina tumbuhan.
Saat ini di Indonesia, masalah karantina tumbuhan menjadi
tanggung jawab Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, yang memiliki 51
unit pelaksana teknis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pengertian
Karantina
Kata “karantina” berasal dari bahasa latin “quarantum” yang berarti empat puluh. Ini
berasal dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut yang
berasal dari negara yang tertular penyakit epidemis, seperti pes, kolera dan
demam kuning, dimana awak kapal dan para penumpangnya dipaksa untuk tetap tinggal
terisolisasi di atas kapal yang ditahan di lepas pantai selama empat puluh
hari, yaitu jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang dicurigai
(Morschel, 1971). Pelaksanaan tindakan karantina terhadap kapal, awak kapal dan
penumpangnya, pertama kali dilakukan oleh penguasa negara kota (city-state) Ragusa di pantai Dalmatia,
laut Adriatik, pada tahun 1374. Tindakan ini kemudian diikuti oleh berbagai
negara lain. Menjelang awal abad 19, peraturan karantina menjadi semakin
kompleks, sehingga pada tahun 1850 tatacara karantina internasional yang
berkaitan dengan arus lalu lintas kapal dan perdagangan internasional
dituangkan dalam suatu konvensi di Paris, Perancis (Purakusumah dan Praminto,
1984).
Dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan dan Tumbuhan, karantina didefinisikan sebagai tempat pengasingan
dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area
lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik
Indonesia (RI).
Sedangkan istilah karantina tumbuhan menurut
Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan, didefinisikan sebagai tindakan
dalam upaya pencegahan masuk dan tersebarnya HPT dari luar negeri dan atau dari
suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah
negara RI. Tindakan karantina dilakukan
oleh petugas karantina tumbuhan, berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan,
perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan media pembawa hama
penyakit tumbuhan karantina (HPTK). Media pembawa HPTK adalah tumbuhan dan
bagian-bagiannya dan atau benda lain yang dapat membawa HPTK. Istilah lain dari
karantina tumbuhan adalah plant quarantine
(dalam bahasa Inggris), karantina tanaman (antara lain digunakan di Malaysia),
dan karantina tumbuh-tumbuhan, yang digunakan di Indonesia sejak kemerdekaan
sampai awal tahun 1980-an.
Berbagai
Contoh HPT Karantina Yang Belum Ada di Indonesia
Salah satu hama buah-buahan yang ditakuti Indonesia
adalah lalat buah Laut Tengah (Meditteranean
fruit fly) dengan nama latin Ceratitis
capitata, yang saat ini merupakan hama penting dari sekitar 250 jenis
buah-buahan, sayuran dan biji-bijian. Hama ini terdapat di Amerika Serikat
(khususnya Hawaii dan Florida), beberapa negara di kawasan Pasifik, Amerika
Tengah dan Selatan, Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Australia. Sewaktu hama ini
memasuki Florida, AS, untuk pertama kalinya pada tahun 1929, pemerintah negara
bagian Florida mengeluarkan dana sebesar $ 6,85 juta untuk upaya eradikasi.
Pada tahun 1956, ketika hama ini kembali memasuki Florida, dikeluarkan biaya
sebesar $30 juta untuk eradikasi selama 3 tahun. Sejak tahun 1975, pemerintah
negara bagian California melakukan upaya eradikasi dengan biaya yang sangat
besar. Misalnya pada tahun 1980-1982 dikeluarkan biaya $100 juta, tahun 1989-1990
sebesar $60,6 juta, tahun 1993-1994 sebesar $38,5 juta, dan dari tahun 1994
sampai 1996 dikeluarkan biaya lebih dari $30 juta per tahunnya (CDFA, 1999).
Tanaman kelapa sawit Indonesia diancam oleh penyakit lethal yellowing, yang saat ini berada
di Kostarika. Sebagai contoh kerusakannya, penyakit lethal yellowing yang menyerang provinsi Zambezia, Mozambik, pada
tahun 2007 telah menghancurkan 125.000 tanaman kelapa di sana, yang berarti
kehilangan 625 ton kopra. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, sekitar
81.000 tanaman kelapa yang terserang telah dimusnahkan atas perintah pemerintah
setempat, dan pengeluaran tanaman kelapa dan produk kelapa dilarang dikeluarkan
dari provinsi tersebut (http://www.poptel.org.uk).
Di Amerika tropis saat ini tengah berkecamuk SALB (South American Leaf Blight) yang
disebabkan oleh cendawan Microcyclus ulei. Penyakit ini terkenal sebagai perusak tanaman
karet nomor satu di dunia. Dalam tahun 1935, perkebunan Good Year di Panama
mulai dijangkiti SALB dengan hebatnya, dan lima tahun kemudian terpaksa
ditutup. Pengusahaan karet di Panama mengalami kemunduran hebat setelah SALB
menyerang negara tersebut. Lumpuhnya usaha budi daya karet alam di Amerika
Latin, menyebabkan sebagian besar kebutuhan karet alam dunia, yaitu hampir 90%
dipenuhi oleh Asia, termasuk Indonesia yang masih bebas dari penyakit tersebut.
Di Filipina terdapat sejenis virus yang menyerang tanaman
kelapa. Kerugian yang ditimbulkannya hebat sekali. Sejak pertama kali
diketemukan di Filipina pada tahun 1926, diperkirakan lebih dari 30 juta pohon kelapa telah mati oleh keganasan penyakit tersebut. Penyakit
virus ini dikenal sebagai penyakit Cadang-cadang,
yang merupakan ancaman yang serius untuk daerah di Indonesia yang berbatasan
langsung dengan Filipina. Penyakit virus yang belum ada di Indonesia lainnya,
misalnya Cocoa swollen shoot virus yang
menyerang tanaman kakao di Afrika Barat, dan dilaporkan telah menimbulkan kerusakan terhadap 1,5 juta pohon kakao
setiap tahunnya (Hunter, 2001).
Contoh
HPT Asing Yang Telah Masuk ke Indonesia
Dalam sejarah Indonesia, berbagai HPT yang sebelumnya ada
di luar negeri dan belum ada di
Indonesia telah masuk ke Indonesia dan menimbulkan berbagai kerusakan dan
kerugian terhadap pertanian dan lingkungan.
Pada tahun 1876, telah masuk ke Indonesia penyakit karat
daun pada kopi, yang disebabkan cendawan Hemileia
vastatrix, dari Sri Lanka (Ceylon). Penyakit ini telah menghancurkan
pertanaman kopi di dataran rendah (di bawah 1.000 m dari permukaan laut).
Sebelum ada serangan Hemileia vastatrix,
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. (http://ilmiahpertanian.blogspot.com).
Pada tahun 1909, telah masuk ke Indonesia sejenis kumbang
penggerek buah kopi (Stephanoderes hampei),
yang berasal dari Afrika dan pertama kali ini diketemukan di Jawa Barat. Pada
tahun 1918 hama ini sudah menyerang secara hebat tanaman kopi rakyat di Jawa
Timur, dan selanjutnya menyebar ke Kalimantan dan Sumatera. Kerusakan pada buah
kopi terjadi karena hama tersebut meninggalkan telurnya di buah kopi dan setelah
menjadi larva akan menggerek buah kopi tersebut menyebabkan buah kopi yang
diserangnya akan berjatuhan (Laoh, 2002)
Tahun 1921, keong alias bekicot, yang juga dikenal
sebagai siput Singapura (Achatina fulica)
dan berasal dari Afrika telah masuk ke pulau Sumatera melalui Singapura. Lima
tahun kemudian, pada tahun 1926, hama ini masuk ke pulau Jawa melalui kiriman
pos paket. Bekicot kemudian menjadi hama yang sangat penting dari berbagai
jenis tumbuhan, terutama sayuran (Pusat Karantina Pertanian, 1999b). Keberadaannya
di Indonesia telah menyulitkan ekspor. Sebagai contoh, Australia menerapkan
kewajiban untuk dilakukannya fumigasi menggunakan gas metil bromida terhadap
kontainer yang digunakan untuk membawa barang ekspor Indonesia ke sana, untuk
mematikan bekicot yang menempel pada kontainer tersebut.
Sekitar tahun 1921, eceng gondok atau water hyacinth yang memiliki nama latin Eichornia crassipes, dimasukkan ke
Indonesia melalui Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias. Dari Bogor gulma ini
kemudian menyebar ke seluruh Indonesia Akibat kecepatan tumbuhnya yang sangat
tinggi, gulma ini telah menjadi perusak lingkungan perairan, terutama sungai
dan danau, yang paling dahsyat. Gulma yang berasal dari Amerika Selatan ini,
saat ini telah menyebar ke Amerika Tengah, Amerika Utara, Afrika, Asia,
Australia dan New Zealand.
Pada bulan April 1949, penyakit cacar teh (blister blight) yang disebabkan oleh
cendawan Exobasidium vexans dilaporkan
telah masuk ke Indonesia dari Srilanka, dan menulari perkebunan teh Bah-Butong
di Sumatera Utara. Pada tahun 1951 telah menulari perkebunan teh di Tugu (Jawa
Barat) dan Gunung Semeru (Jawa Timur). Kerugian yang ditimbulkannya sangat
besar. Dalam laporannya tahun 1951/1952, Javasche
Bank menyatakan bahwa dalam tahun 1951 perkebunan teh di Indonesia
menderita kerugian dengan turunnya produksi sebesar 20 sampai 50 persen akibat
penyakit ini. Hasil teh Indonesia pada waktu itu berjumlah 114.000 ton.
Kerugian diperkirakan senilai Rp. 114 juta, dengan nilai rupiah pada saat itu
(Pusat Karantina Pertanian, 1999b).
Di awal tahun 1980, keong mas (golden apple snail) dengan nama latin Pomacea canaticulata dimasukkan dari Taiwan ke Indonesia sebagai
fauna akuarium, dan pada tahun 1985-1987 telah menyebar dengan sangat cepat di
Indonesia. Saat ini keong yang berwarna keemasan tersebut telah menjadi salah
satu hama penting yang telah banyak menghancurkan pertanaman padi di berbagai
daerah. Hewan ini dapat menyerang tanaman padi muda, baik di persemaian maupun
bibit yang baru dipindahkan ke sawah. Dengan kepadatan populasi sekitar 10-15
ekor per meter persegi, keong mas mampu menghabiskan tanaman padi muda dalam
waktu 3 hari, jika air sawah dalam keadaan tergenang, dan menimbulkan kerusakan
yang cukup berat di persawahan. Pada bulan Juni 1992, pernah dilaporkan di Kabupaten
Lampung Selatan, keong mas telah menyerang 4.500 hektar sawah, dengan rata-rata
populasi 2-23 ekor per meter persegi (Sulistiono, 2007).
Pada bulan April 1986 di sebuah harian pagi ibukota
muncul berita adanya penyakit baru yang menyerang tanaman tebu milik Pabrik Gula
Gunung Madu, di Lampung. Penyakit yang menimbulkan gejala seperti hangus pada
daun tebu ini, telah merusakkan sekitar 5.000 ha kebun tebu. Setelah diteliti,
penyakit ini disebabkan oleh cendawan Stagonospora
sacchari, yang karena gejalanya disebut sebagai penyakit hangus daun tebu
atau leaf scorch. Penyakit ini masuk
ke Lampung, berawal pada tahun 1980, ketika seorang konsultan dari AS tanpa
diminta dan tanpa melalui pemeriksaan petugas karantina tumbuhan, telah membawa
varietas tebu SP-701284 dari Brazil untuk diuji coba di Lampung. Jumlah bibit
yang dibawa hanya 3 mata. Karena jenis tersebut menunjukkan sifat unggul,
penanamannya diperluas hingga mencapai seribu hektar lebih pada tahun 1985.
Tujuan baik tersebut telah menyebabkan kerugian yang sangat fatal karena
terbawanya penyakit yang merusak tersebut, dan sekarang telah menjadi salah
satu penyakit tebu penting di Indonesia (Surachmat, 1986).
Pada bulan Januari 2003, diperoleh laporan dari petani
bahwa dalam dua tahun terakhir produksi kentang di sana mengalami penurunan
produksi yang sangat tajam. Penyebabnya antara lain akibat adanya serangan
penyakit yang ditandai dengan gejala tanaman tumbuh terhambat, daun menguning
dan umbi kentang mengecil. Dari hasil penelitian kemudian diketahui bahwa
tanaman kentang tersebut telah terinfeksi nematoda Globodera rostochiensis atau dikenal sebagai nematoda sista
kuning, golden nematode atau golden
cyst nematode (Noerachman dan Suwardi, 2003). Masuknya penyakit ini merupakan
suatu kerugian besar bagi pengembangan hortikultura Indonesia, khususnya
kentang, karena ancaman kerusakan dan kerugian yang dapat ditimbulkannya. Di
Chili, Italia dan Polandia telah menurunkan tingkat produksi kentang sampai 70%
(SKT Cilacap, 2008). Kentang dan tomat
merupakan tanaman utama yang diserangnya. Nematoda sista kuning ini merupakan penyakit
utama dalam pertanaman kentang di Eropa. Di AS, penyakit ini pertama kali diketemukan tahun
1941 di Nassau County di Long Island, New York, kemudian diketemukan di delapan
lokasi lainnya. Selama lebih dari 60 tahun telah dilakukan upaya karantina
terhadap wilayah-wilayah yang telah tertular. AS sangat ketakutan, karena
apabila penyakit ini dapat menyebar ke daerah lain, diperkirakan akan
diperlukan biaya yang mencapai $4,8 milyar setiap tahunnya untuk usaha
pemberantasan (APHIS, 2008).
Penutup
Sektor pertanian merupakan penggerak perekonomian rakyat
Indonesia, oleh sebab itu pertanian harus dilindungi tidak hanya dari tekanan
ekonomi global yang seringkali tidak adil, namun juga harus dilindungi dari
ancaman masuk dan tersebarnya HPT.
Serangan HPT tersebut dapat menurunkan produksi,
menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak lingkungan,
merusak kelestarian sumber daya pertanian dan menghambat ekspor. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh HPT ini seringkali menimbulkan dampak yang sangat luas
terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional.
Badan Karantina Pertanian, sebagai instansi yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan perkarantinaan tumbuhan, secara
berkelanjutan membangun kelembagaan karantina didukung oleh pengembangan
sumberdaya manusia yang profesional. Namun kelembagaan yang kuat tidak cukup
mampu mencegah-tangkal HPT dari luar negeri, apabila tidak didukung oleh kesadaran
dan ketaatan masyarakat/ pelaku usaha untuk tidak memasukkan produk pertanian
yang tertular HPT dari luar negeri. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan
bentang pantai yang sangat terbuka dan tersebar dari Sabang sampai Merauke
memiliki risiko yang cukup besar terhadap kemungkinan masuknya HPT baru yang
dapat merusakkan pertanian Indonesia. Oleh sebab itu pengetahuan perkarantinaan
harus dimiliki tidak saja bagi petugas karantina tetapi juga masyarakat dan
pelaku usaha, khususnya yang berkaitan dengan agribisnis.
Daftar
Bacaan
APHIS. 2008. Golden
Nematode. http://w.w.w.aphis.usda.gov.
Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
CDFA. 1999. The
Mediterranean Fruit Fly Fact Sheet. http://w.w.w.cdfa.ca.gov/pests/medfly.
Diphayana, W. 1976. “Penyakit virus pada
tumbuh-tumbuhan”. Kompas, 22 Oktober.
Diphayana, W. 1976. “Mengenal karantina tumbuh-tumbuhan
di Indonesia”. Suara Karya, 15-16
Nopember.
Diphayana, W. 1977. “Mengenal karantina tumbuh-tumbuhan”.
Sinar Harapan, 27 September.
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. 2005. Laporan Pemetaan Sektor Ekonomi (Sektor
Pertanian). Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, BI, Jakarta.
Hamzah, A. 1987. “Biologi kumbang Khapra (Trogoderma granrium Everts) pada beras
dan jagung berkadar air 10% dan16%”. Buletin
Media Quaranta, Edisi Januari.
Hunter, D. 2001. Virology
Training Manual. Proyek PHTPR-Komponen Karantina Tumbuhan, Badan Karantina
Pertanian, Jakarta.
Laoh, H. 2002. “Organisme pengganggu tanaman (hama) yang
menjadi sasaran karantina tumbuhan”. Makalah disampaikan dalam seminar sehari
“Sosialisasi Karantina Tumbuhan di Propinsi Riau, Fakultas Pertanian
Universitas Riau, 3 Oktober.
Morschel, J.R. 1971. Introduction
to Plant Quarantine. Australian Government Publishing Service, Canberra.
Noerachman dan Suwardi. 2003. “Laporan hasil kunjungan
lapangan terhadap dugaan adanya serangan golden nematoda (Globosdera rostochiensis) pada tanaman kentang di Jawa Timur”.
Badan Karantina Pertanin, Jakarta.
Nugroho, I., Ramin ZE dan S. Adi. 2005. “Penggerek buah
kakao Conopomorpha cramerella Snellen
(Fam : Gracillaridae) mengancam produksi kakao di propinsi Lampung”. Bulletin Media Quaranta, Edisi 11 dan
12.
Plant Protection Service. 2005. Banana Bunchy Top. Pest Advisory leaflet No. 2. Plant protection
Service, Secretariat of the Pacific Community. http://www.spc.int.
SKT Cilacap. 2008. Awas,
Ancaman Nematoda Sista Kuning. http://skt-cilacap.tripod.com.
Sulistiono. 2007. Keong
Mas “Si Lelet” Perusak Padi. http://nusaku.com
/forum/archive/index.php/t-5340.html.
Surachmat. 1986.
“Leaf scorch”. Buletin Media
Quaranta, Edisi Juni
Suwanda dan Surachmat. 1983. Mengenal Penyakit CVPD Pada Jeruk. Balai Karantina Pertanian,
Jakarta.
Triwahyono, Y. 1986. “Jumping plant lice, kutu loncat
atau hama plungker”. Bulletin Media
Quaranta, Edisi Mei.
Comments
Post a Comment