132 TAHUN KARANTINA TUMBUHAN   INDONESIA

Oleh :
Wahono Diphayana


Dalam tahun 1867 di Sri Lanka (Ceylon) untuk pertama kali muncul penyakit baru yang menyerang tanaman kopi. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit karat daun kopi yang disebabkan oleh cendawan Hemileia vastatrix. Penyakit tersebut begitu hebat menghancurkan pertanaman kopi sehingga ekspor kopi Sri Lanka turun hanya tinggal 7% dari sebelumnya.

Di Indonesia (Hindia Belanda),  kopi merupakan tanaman budidaya penting sejak zaman Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Kopi pertama kali dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1696. Produksi kopi meningkat terus sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels, mewajibkan penanaman kopi di seluruh pulau Jawa, dan Van den Bosch pada tahun 1832 memperkenalkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel).   

Pemerintah Hindia Belanda yang menyadari ancaman penyakit karat daun kopi di Sri Lanka, mengeluarkan Ordonansi 19 Desember 1877 (Staatsblad No. 262) yang melarang  pemasukan tanaman dan biji kopi dari Sri Lanka. Ini merupakan peraturan yang pertama di dunia  dalam bidang karantina tumbuhan, dan merupakan hari lahirnya karantina tumbuhan di Indonesia.[1]
Saat ini tidak banyak yang menyadari bahwa pada tanggal 19 Desember 2009 karantina tumbuhan di Indonesia telah berusia 132 tahun, dan ironisnya, masih banyak masyarakat yang belum mengenal karantina tumbuhan, terkecuali mungkin mereka yang berusaha di bidang ekspor impor produk pertanian.

Kata “karantina” berasal dari bahasa latin “quarantum” yang berarti empat puluh. Ini berasal dari lamanya waktu yang diperlukan untuk menahan kapal laut yang berasal dari negara yang tertular penyakit epidemis, seperti pes, kolera dan demam kuning, dimana awak kapal dan para penumpangnya dipaksa untuk tetap tinggal terisolisasi di atas kapal yang ditahan di lepas pantai selama empat puluh hari, yaitu jangka waktu perkiraan timbulnya gejala penyakit yang dicurigai.[2]  

Pelaksanaan tindakan karantina terhadap kapal, awak kapal dan penumpangnya, pertama kali dilakukan oleh penguasa negara kota (city-state) Ragusa di pantai Dalmatia, laut Adriatik, pada tahun 1374. Tindakan ini kemudian diikuti oleh berbagai negara lain. Menjelang awal abad 19, peraturan karantina menjadi semakin kompleks, sehingga pada tahun 1850 tatacara karantina internasional yang berkaitan dengan arus lalu lintas kapal dan perdagangan internasional dituangkan dalam suatu konvensi di Paris, Perancis.[3]

Di Indonesia, instansi pertama yang menangani karantina tumbuhan lahir pada tahun 1914 pada saat diterbitkan Ordonasi 28 Januari 1914  (Staatsblad No. 161) yang menetapkan pengawasan oleh tenaga ahli untuk pemasukan buah-buahan segar dari Australia ke Indonesia. Tujuan dari peraturan ini adalah untuk mencegah masuknya hama lalat buah Laut Tengah (Ceratitis capitata), yang telah terdapat di bagian barat benua Australia ke Indonesia.

Direktur  Department van Lanbouw, Nijverheid en Handel   menunjuk   Instituut voor Plantenziekten en Cultures  untuk melaksanakan ordonansi tersebut di tiga pelabuhan, yaitu Tanjung Priok, Semarang dan Surabaya, yang ditunjuk sebagai pelabuhan pemasukan buah-buahan segar. Ini merupakan kelahiran dinas karantina tumbuhan di Indonesia.[4] Sejak saat itu, dalam perkembangannya terjadi berbagai perubahan kelembagaan yang menangani perkarantinaan tumbuhan di Indonesia, sampai terakhir saat ini ditangani oleh Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan,  karantina tumbuhan adalah tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan atau dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara RI.

Apa sih pentingnya karantina tumbuhan di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat  tiga hal, yaitu Indonesia sebagai negara agraris, potensi kerugian ekonomi akibat hama penyakit tumbuhan (HPT), dan banyaknya HPT asing yang berbahaya yang belum ada di Indonesia.

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan berbagai sumber daya alam hayati, termasuk berbagai jenis flora dengan berbagai keunikan dan keanekaragamannya, sehingga Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara di dunia dengan mega-biodiversity. Indonesia dengan luas daratan yang hanya 1,3% dari keseluruhan permukaan bumi, kaya dengan berbagai spesies flora. Sebagai contoh, Indonesia memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga, atau lebih dari 10% dari tumbuhan berbunga  di dunia.[5] Berbagai jenis tumbuhan telah memberikan sumbangan sebagai bahan obat-obatan, sumber bahan pangan, bahan baku industri dan berbagai keperluan lainnya.

Kerugian akibat serangan HPT pada tanaman pertanian cukup besar. Menurut Departemen Pertanian[6],  serangan HPT  pada tanaman padi, jagung dan kedelai telah menimbulkan kerugian sekitar Rp. 463 milyar setiap tahun. Kerugian potensial di tingkat petani karena serangan HPT hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, kubis dan tomat) diasumsikan rata-rata sebesar Rp. 1,7 triliun per tahun. Kerugian secara nyata di lapangan tentu lebih besar karena belum mencakup data semua jenis HPT dan tanaman yang terserang. Disamping itu, berbagai jenis HPT baru dari luar negeri, seperti gulma eceng gondok, penyakit cacar daun teh, hama keong emas pada padi, penyakit virus bunchy top pada pisang, penyakit hangus daun tebu, dan penyakit nematoda sista kuning pada kentang, telah memasuki Indonesia dan  menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi pertanian Indonesia. 

Dewasa ini Indonesia masih bebas dari sekitar 583 jenis HPT karantina. Sedangkan sekitar 1.200 jenis HPT lainnya sudah terdapat di Indonesia, dan sekitar 103 jenis belum menyebar ke semua area atau pulau di Indonesia. Di samping itu berbagai jenis HPT yang sudah ada di Indonesia belum terdapat di berbagai negara lain.[7]

Semakin meningkatnya volume dan frekuensi lalu lintas perdagangan hasil pertanian telah mengakibatkan risiko penularan dan penyebaran HPT menjadi semakin meningkat pula. Oleh karena penyebarannya terutama melalui perdagangan, maka lalu lintas hasil pertanian perlu diatur, antara lain melalui karantina tumbuhan.

                                        * Penulis adalah pengamat masalah perkarantinaan



[1] Thaib Dano. 1977. Seratus Tahun Karantina Tumbuh-tumbuhan 1877-1977. Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan, Jakarta.

[2] Morschel, J.R. 1971. Introduction to Plant Quarantine. Australian Government Publishing Service, Canberra.
[3] Purakusumah, H. dan E. Praminto. 1984. Pengertian Tentang Karantina Tumbuhan di Indonesia. Pusat Karantina Tumbuhan, Jakarta.
[4] Thaib Dano. 1977. Seratus Tahun Karantina Tumbuh-tumbuhan 1877-1977. Direktorat Karantina Tumbuh-tumbuhan, Jakarta.

[5] Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2001. “Kebijakan pengendalian peredaran flora dan fauna”. Makalah disampaikan pada Lokakarya NasionalKarantina Pertanian, Jakarta, 12 Septrember 2001.
[6] Departemen Pertanian. 2003.Program Nasional Perlindungan Tanaman dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian, Jakarta.
[7] Keputusan Menteri Pertanian No. 38/2006 tentang Jenis-Jenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I Kategori A1 dan A2, Golongan II Kategori A1 dan A2, Tanaman Inang, Media Pembawa dan Daerah Sebarnya.

Comments