KESEPAKATAN INTERNASIONAL KARANTINA TUMBUHAN


Di dunia internasional, sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia menjadi salah satu penandatangan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. Salah satu kesepakatan di dalam GATT yang terkait karantina tumbuhan adalah Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS). Kesepakatan intrernasional lainnya yang menyangkut karantina tumbuhan, dimana Indonesia menjadi anggotanya, adalah International Plant Protection Convention (IPPC) dan Plant Protection Agreement for the Asia and Pacific Region.  Di dalam Bab ini secara singkat akan dibahas ketiga kesepakatan tersebut, yang mengikat karantina tumbuhan Indonesia dalam kebijakan perkarantinaan tumbuhan Internasional.

1. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)

Kesepakatan SPS berlaku dan mengikat secara global, karena kesepakatan ini merupakan salah satu kesepakatan (agreement) yang disepakati oleh seluruh negara anggota WTO penandatangan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut dan mengundangkannya dalam hukum positif Indonesia. Regulasi ini tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization

Kesepakatan SPS pada intinya merupakan kesepakatan yang menyangkut masalah kesehatan dan perdagangan internasional. Dari aspek kesehatan, SPS merupakan tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan  atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan :
        dari resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme  penyebab penyakit;
        dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives), kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan;
        dari penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat daripadanya; dan
        mencegah atau membatasi bahaya atau kerugian lainnya di dalam wilayah negara anggota dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Aspek kesehatan dari kesepakatan SPS pada dasarnya mempunyai arti bahwa anggota WTO dapat melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola risiko yang berhubungan dengan impor-ekspor, yang biasanya dalam bentuk persyaratan karantina dan keamanan pangan. Ketentuan ini dapat diklasifikasikan sebagai sanitari (terkait dengan kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan) dan fitosanitari (terkait dengan kehidupan atau kesehatan tumbuhan), yang biasa disebut sebagai ketentuan SPS.

Aspek perdagangan internasional dalam kesepakatan SPS menyatakan bahwa dalam usaha melindungi kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan, anggota WTO tidak seharusnya menggunakan ketentuan SPS yang tidak diperlukan, tidak didasarkan pada pertimbangan ilmiah, tidak mengada-ada, atau secara tersamar membatasi perdagangan internasional.

Kesepakatan SPS dijalankan oleh the SPS Committee (Komite SPS), dimana semua anggota WTO dapat berpartisipasi. Komite SPS merupakan forum konsultasi anggota WTO yang secara regular bertemu membahas permasalahan terkait SPS.

Hak dan kewajiban utama anggota WTO adalah sebagai berikut.
a.      Anggota mempunyai hak untuk menjalankan ketentuan sanitari dan fitosanitaii yang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan selama ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS.
b.      Anggota akan menjamin bahwa ketentuan sanitari dan fitosanitari diterapkan hanya untuk kepentingan menjaga kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan didasarkan pada kaidah-kaidah ilmiah, dan tidak diberlakukan tanpa adanya bukti ilmiah yang cukup.
c.      Anggota akan menjamin tidak akan menerapkan ketentuan sanitaii dan fitosanitari secara sewenang-wenang atau melakukan diskriminasi antar anggota apabila kondisi yang sama terpenuhi, termasuk antara wilayah sendiri dengan wilayah anggota lain. Ketentuan sanitari dan fitosanitari tidak akan diterapkan dengan tujuan tersembunyi untuk membatasi perdagangan internasional.
d.      Ketentuan sanitari dan fitosanitari yang sesuai dengan persyaratan yang relevan dalam kesepakan ini akan dijalankan sesuai dengan kewajiban anggota.

Prinsip utama dalam kesepakatan SPS adalah harmonisasi, kesetaraan, tingkat perlindungan yang sesuai (appropriate level of protection, ALOP), penilaian risiko, kondisi reghional dan transparansi.

  1. Harmonisasi
Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masing-masing dengan mengacu pada persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS. Namun demikian, dalam menetapkan ketentuan SPS anggota WTO diharapkan berpedoman pada standar internasional, pedoman dan rekomendasi yang ada agar prinsip harmonisasi dapat dicapai. Terdapat tiga lembaga internasional yang menyusun standar internasional, pedoman dan rekomendasi. Lembaga tersebut adalah :
    • International Plant Protection Convention (IPPC) yang menangani masalah kesehatan tumbuhan;
    • World Organization for Animal Health atau Organization Internationale de Ephyzootic (OIE) yang menangani masalah kesehatan hewan; dan
    • Codex Alimentarius Commission (Codex), yang menangani masalah keamanan pangan.

  1. Kesetaraan
Kesepakatan SPS mensyaratkan bahwa negara pengimpor menerima ketentuan SPS negara pengekspor untuk menjaga prinsip kesetaraan selama negara pengekspor secara obyektif menunjukkan pada negara pengimpor bahwa semua ketentuan SPS yang dijalankan mencapai ALOP negara pengimpor. Kesepahaman tentang kesetaraan dapat dicapai melalui konsultasi bilateral dan berbagi informasi teknis.

  1. Tingkat Perlindungan Yang Sesuai (Appropriate Level of Protection, ALOP)
Tingkat perlindungan yang sesuai (ALOP) adalah tingkat perlindungan yang dianggap sesuai oleh anggota WTO untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan dalam wilayahnya. Masing-masing anggota WTO mempunyai hak untuk menetapkan ALOP bagi negaranya. Namun demikian, setiap anggota perlu mempertimbangkan untuk meminimalkan efek negatif terhadap perdagangan.

  1. Penilaian Risiko
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk mendasarkan ketentuan SPS mereka pada hasil penilaian risiko, sesuai dengan kondisi yang ada. Dalam melaksanakan penilaian risiko, anggota WTO disyaratkan untuk menggunakan teknik penilaian risiko yang dikembangkan oleh organisasi internasional yang relevan.

  1. Kondisi Regional
Kesepakatan SPS mensyaratkan anggota WTO untuk menyesuaikan ketentuan SPS mereka dengan kondisi regional dari mana produk berasal dan kemana produk ditujukan. Kondisi regional diartikan sebagai karakteristik SPS suatu wilayah geografis yang dapat merupakan seluruh wilayah dari suatu negara, sebagian wilayah dari suatu negara, dan seluruh atau sebagian wilayah  dari beberapa negara. Hal ini dapat mempengaruhi besar kecilnya risiko terhadap kehidupan  atau manusia , hewan, atau tumbuhan. Secara khusus, anggota WTO disyaratkan untuk menyampaikan informasi tentang konsep area bebas OPT (pest/disease free areas) atau area dengan kejadian OPT rendah (areas of low pest/disease prevalence).

  1. Transparansi
Prinsip transparansi mensyaratkan anggota WTO untuk menyediakan informasi tentang ketentuan SPS mereka dan menyampaikannya apabila ada perubahan dalam ketentuan tersebut. Anggota WTO juga disyaratkan untuk mempublikasikan peraturan SPS mereka.

2. International Plant Protection Convention (IPPC)

IPPC merupakan sebuah organisasi resmi yang menangani masalah kesehatan tumbuhan dibentuk oleh Food and Agriculture Organization (FAO), dan dilaksanakan melalui kerjasama antar pemerintah negara anggota dan Regional Plant Protection Organization (Organisasi Perlindungan Tumbuhan Regional). IPPC disetujui di bulan Nopember 1951 pada Sixth Session dari Konperensi FAO yang dilaksanakan di Roma, Italia, dan mulai berlaku tanggal 3 April 1952, setelah tiga negara, Spanyol, Sri Lanka dan Chili, meratifikasinya. IPPC dicatatkan di Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 29 Nopember 1952 dengan nomor 1963. IPPC dijalankan oleh Commission on Phytosanitary Measures (CPM),  yang antara lain menyetujui International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM atau Standar Internasional Untuk Ketentuan Fitosanitari).

Tujuan dari IPPC adalah untuk mengkoordinasikan kegiatan pencegahan masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan (OPTK) ke dan antar negara, dan mempromosikan metode yang sesuai untuk pengendaliannya.

Saat ini IPPC memiliki 170 negara anggota. Indonesia merupakan salah satu penandatangan Konvensi tersebut, dan meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 1977 juncto Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1990 tentang Pengesahan International Plant Protection Convention.

Revisi teks IPPC terladi dua kali. Yang pertama, persetujuan revisi teks pada Twentieth Session, Konperensi FAO, pada bulan Nopember 1979, dan mulai berlaku secara resmi mulai tanggal 4 April 1991. Yang kedua, persetujuan revisi teks pada Twenty-ninth Session, Konperensi FAO, pada bulan Nopember 1997, dan mulai berlaku secara resmi mulai tanggal 2 Oktober 2005.

IPPC mengembangkan International Standards for Phytosanitary Measures (ISPM). Sampai saat ini, sekitar 31 ISPM telah dipublikasikan, yaitu sebagai berikut.
  • ISPM No. 01 (2006) Phytosanitay principles for the protection of plants and the application of phytosanitary measures in international trade.
  • ISPM No. 02 (2007) Framework for pest risk analysis.
  • ISPM No. 03 (2005) Guidelines for the export, shipment, import and release of biological control agents and other beneficial organisms.
  • ISPM No. 04 (1995) Requirements for the establishment of Pest Free Areas.
  • ISPM No. 05 (2005) Glossary of phytosanitary terms.
  • ISPM No. 05 (2008) Glossary of phytosanitary terms.
  • ISPM No. 06 (1997) Guidelines for surveillance.
  • ISPM No. 07 (1997) Export certification system.
  • ISPM No. 08 (1998) Determination of pest status in an area.
  • ISPM No. 09 (1998) Guidelines for pest eradication programmes.
  • ISPM No. 10 (1999) Requirements for the establishment of pest free places of production and pest free production sites.
  • ISPM No. 11 (2004) Pest risk analysis for quarantine pests including analysis of environmental risks and living modified organisms.
  • ISPM No. 12 (2001) Guidelines for phytosanitary certificates.
  • ISPM No. 13 (2001) Guidelines for the notification of non-compliance and emergency action.
  • ISPM No. 14 (2002) The use of integrated measures in a systems approach for pest risk management.
  • ISPM No. 15 (2002) Certification mark.
  • ISPM No. 15 (2002) Guidelines for regulating wood packaging material in international trade.
  • ISPM No.16 (2002) Regulated non-quarantine pests : concept and application.
  • ISPM No. 17 (2002) Pest reporting.
  • ISPM No. 18 (2003) Guidelines for the use of irradiation as a phytosanitary measure.
  • ISPM No. 19 (2003) Guidelines on lists of regulated pests.
  • ISPM No. 20 (2004) Guidelines for a phytosanitary import regulatory system.
  • ISPM No. 21 (2004) Pest risk analysis for regulated non quarantine pests.
  • ISPM No. 22 (2005) Requirements for the establishment of areas of low pest prevalence.
  • ISPM No. 23 (2005) Guidelines for inspection.
  • ISPM No. 24 (2005) Guidelines for the determination and recognition of equivalence of phytosanitary measures.
  • ISPM No. 25 (2006) Consignment in transit.
  • ISPM No. 26 (2006) Establishment of pest free areas for fruit flies (Tephritidae).
  • ISPM No. 27 (2006) Diagnostic protocols for regulated pests.
  • ISPM No. 28 (2007) Phytosanitary treatments for regulated pests.
  • ISPM No. 29 (2007) Recognition of pest free areas of low pest prevalence.
  • ISPM No. 30 (2008) Establishment of areas of low pest prevalence for fruit flies (Tephritidae).
  • ISPM No. 31 (2008) Methodologies for sampling of consignments.
 3. Plant Protection Agreement for the Asia and Pacific Region

Dalam bulan April 1954, pemerintah Inggris (United Kingdom) mengusulkan kepada FAO agar mengusahakan adanya persetujuan tambahan sesuai dengan persetujuan International Plant Protection Convention (IPPC) tahun 1951. Berdasarkan usul Inggris ini, pada tanggal  13-17 Desember 1954 FAO menyelenggarakan Plant Protection Meeting di Singapura, yang dihadiri oleh wakil dari 10 negara. Pertemuan ini secara aklamasi menerima rancangan Plant Protection Agreement for the South East Asia and Pacific Region. Pertemuan juga mengusulkan agar rancangan tersebut diajukan ke FAO Council untuk disetujui, dan dapat diterima oleh semua pemerintah yang ada di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik. Setelah disempurnakan oleh Sekretariat FAO, rancangan tersebut diajukan ke FAO Council dan disetujui pada sidang ke-23 pada tanggal 26 Nopember 1955.   Plant Protection Agreement for the South East Asia and Pacific Region mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 1956 setelah tiga negara menandatangani. Setelah tanggal tersebut pemerintah-pemerintah negara di Asia Tenggara dan Pasifik yang bukan penandatangan dapat menjadi peserta dengan pernyataan.

Tujuan Plant Protection Agreement for the South East Asia and Pacific Region adalah untuk memungkinkan dilakukannya konsultasi antar pemerintah tentang tindakan untuk melindungi tumbuhan dan untuk mencegah pemasukan dan penyebaran OPT di wilayah negaranya. Untuk mencapai tujuan tersebut negara-negara anggota membentuk sebuah komite regional, yaitu Plant Protection Committee for the South East Asia and Pacifik Region.  Komite tersebut bersidang sekurang-kurangnya dua tahun sekali, untuk keperluan : (i) meninjau adanya dan penyebaran OPT di dalam dan luar wilayahnya; (ii) menganjurkan usaha bersama dalam mengatur pemasukan tumbuhan dari luar wilayah untuk mencegah masuk dan tersebarnya OPT; dan (iii) membahas hal-hal yang memerlukan kerjasama regional dan tindakan-tindakan perlindungan tumbuhan yang memerlukan bantuan negara lain sesuai dengan kesepakatan.

Dalam perkembangannya telah terjadi beberapa perubahan, di antaranya adalah bertambah luasnya wilayah yang tercakup oleh kesepakatan, yaitu Asia Tenggara dan Pasifik menjadi Asia dan Pasifik, serta  perubahan Plant Protection Agreement for the South East Asia and Pacific Region menjadi Plant Protection Agreement for the Asia and Pacific Region



Comments