ATURAN  SANITARY AND PHYTOSANITARY (SPS) MENJADI KENDALA EKSPOR-IMPOR


Oleh :
Wahono Diphayana



Badan Kesehatan Dunia WHO menetapkan Jepang sebagai negara yang rakyatnya memiliki usia harapan hidup tertinggi di dunia, rata-rata berumur 83 tahun.[1] Bandingkan dengan penduduk Indonesia yang hanya memiliki usia harapan hidup 64 tahun. Apa penyebab penduduk Jepang dapat berumur panjang? Menurut Junichi Takeuchi, Direktur Export Promotion Office dari Kementerian Pertanian Jepang, penyebabnya adalah karena Jepang dalam memproduksi pangan memperhatikan keamanan pangan dan kesehatan. Mengekspor pangan atau bahan pangan ke Jepang tidaklah mudah, dimana standar penggunaan residu atau pestisida diatur sangat ketat.  Impor dari seluruh negara Asean dikontrol berdasarkan aturan sanitary and phytosanitary  atau SPS (Bisnis Indonesia, 30 Nopember 2009).

Apakah aturan SPS tersebut? Sanitary adalah kesehatan manusia dan hewan, sedangkan phytosanitary adalah kesehatan tumbuhan atau tanaman. Aturan SPS merupakan salah satu kesepakatan, yaitu Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measure,  yang ditandatangani Indonesia dalam kerangka General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995..

Kesepakatan SPS pada intinya merupakan kesepakatan yang menyangkut masalah kesehatan dan perdagangan internasional. SPS merupakan tindakan yang dilakukan untuk melindungi kehidupan  atau kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan (1) dari resiko yang ditimbulkan oleh masuknya, pembentukan atau penyebaran dari hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme  penyebab penyakit; (2) dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan tambahan makanan (additives), kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan makanan; (3) dari penyakit-penyakit yang dibawa oleh hewan, tumbuhan atau produk yang dibuat dari padanya; dan (4) mencegah atau membatasi bahaya atau kerugian lainnya di dalam wilayah negara anggota dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama.

Anggota WTO berhak menetapkan ketentuan SPS untuk negara masing-masing dengan mengacu pada persyaratan yang ada dalam kesepakatan SPS. Namun demikian, dalam menetapkan ketentuan SPS anggota WTO diharapkan berpedoman pada standar internasional, pedoman dan rekomendasi yang ada. Terdapat tiga lembaga internasional yang menyusun standar internasional, pedoman dan rekomendasi. Lembaga tersebut adalah International Plant Protection Convention (IPPC) yang menangani masalah kesehatan tumbuhan, World Organization for Animal Health atau Organization Internationale de Ephyzootic (OIE) yang menangani masalah kesehatan hewan dan  Codex Alimentarius Commission (Codex), yang menangani masalah keamanan pangan.

Aturan SPS yang diterapkan oleh berbagai negara, saat ini telah menjadi hambatan non-tarif yang utama di dalam perdagangan internasional, terutama untuk produk-produk pertanian.

Produk ekspor Indonesia banyak mengalami kendala di luar negeri karena penerapan aturan SPS oleh negara pengimpor. Sebagai contoh, menurut Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), hambatan umum perdagangan Indonesia dengan Australia di antaranya disebabkan oleh  permasalahan kontaminasi mikrobiologi, low-acid canned foods, residu pestisida, additives, kontaminan, toksin, hormon dan antibiotik.[2]

Menurut Ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner Indonesia (Askesmavet),  produk ternak Indonesia ditolak oleh Singapura, Jepang dan Mesir karena sarana Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang tidak memenuhi persyaratan hygiene-sanitasi karena kurangnya perawatan alat dan bangunan. Produk daging unggas dan olahannya ditolak masuk Singapura dan Jepang karena terganjal wabah flu burung di Indonesia dan tidak efektifnya sistem pengawasan keamanan pangan asal hewan. [3]

Menurut Dirjen Hortikulktura, Deptan, ekspor buah dan sayuran Indonesia terhambat dikarenakan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan pangan dan SPS, disamping harus memenuhi sistem budidaya pertanian yang baik (good agricultural practices atau GAP).[4]  Akibat adanya berbagai jenis hama lalat buah, berbagai jenis buah-buahan dan sayuran Indonesia ditolak memasuki pasar Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, China dan lain-lain. Terdapat beberapa jenis lalat buah Indonesia yang belum ada di negara-negara tersebut yang sangat ditakuti karena dampak kerusakan yang dapat ditimbulkannya pada perkebunan buah-buahan dan sayuran,  seperti hama lalat buah  Bactrocera dorsalis dan Bactrocera cucurbitae.

Indonesia juga menolak berbagai produk impor dari luar negeri karena alasan SPS. Sebagai contoh, kita menolak produk susu dari China dikarenakan mengandung melamin. Kita juga menolak produk susu dari Uni Eropa karena adanya penyakit sapi gila di sana.

Larangan pemasukan daging sapi oleh Indonesia, bukan hanya dari negara yang tertular penyakit sapi gila tapi juga dari negara yang tertular penyakit mulut dan kuku (foot and mouth disease). Padahal sebagian besar negara di dunia penghasil ternak telah tertular penyakit ini. Akibatnya, sampai saat ini, untuk memenuhi kebutuhan daging dan ternak, khususnya sapi, di dalam negeri, Indonesia hanya mengimpor dari negara-negara yang masih bebas penyakit mulut dan kuku dan sapi gila, yaitu Australia, New Zealand dan Amerika Serikat, dan secara terbatas dari Brazil. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terutama kepada negara  Australia dan New Zealand  dalam impor ternak dan daging sapi.

Dalam rangka pengawasan pangan segar asal tumbuhan agar aman dari cemaran kimia, residu pestisida, cemaran mikotoksin dan logam berat, agar tidak melebihi batas maksimum sehingga aman dan layak dikonsumsi, terhitung sejak tanggal 19 Nopember 2009 diberlakukan Peraturan Menteri Pertanian (PMP) No. 27/2009 tentang Pengawasan Keamanan Pangan Terhadap Pemasukan dan Pengeluaran Pangan Segar Asal Tumbuhan.

Dalam upaya meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar internasional,  mau tidak mau Indonesia harus mengikuti dan memenuhi berbagai standar internasional  terkait masalah SPS dan memenuhi aturan SPS yang diterapkan negara pengimpor, yang artinya harus bebas dari berbagai bahan aditif, kontaminan, hama dan penyakit yang dapat merugikan bukan hanya kesehatan manusia tapi juga kesehatan hewan dan tumbuhan.

Kita juga tidak mungkin membiarkan berbagai jenis produk impor bebas masuk ke Indonesia tanpa memenuhi standar SPS dan aturan SPS  yang telah kita tetapkan, sementara di lain pihak ekspor kita  ke luar mengalami berbagai hambatan atau penolakan karena dianggap tidak memenuhi standar dan aturan SPS.

  • Penulis adalah pengamat masalah SPS.






[1] Kapanlagi.com. 23 Mei 2009. “WHO tetapkan Jepang miliki usis harapan hidup tertinggi”. http://www.kapanlagi.com/h/
[2] Depkominfo. 6 Agustus 2007. “Penyebab Hambatan Pangan Indonesia-Australia”. http://web.dev.depkominfo.go.id/blog/2007
[3] KOMPAS.com. 14 April 2008.”Ternak Indonesia masih susah bersaing”, http://www.kompas.com/read/xml
[4] KOMPAS.com. 10 Oktober 2009. “Nontarif  jadi kendala ekspor”.http://cetak.kompas.com/read/xml

Comments