MAKANAN DAN PRODUK PERTANIAN DARI LUAR NEGERI DAPAT MENJADI AWAL BENCANA


Oleh :
Wahono Diphayana


Bagi anda yang pernah ke Australia tentu mengalami betapa ketatnya pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas karantina atau AQIS (Australian Quarantine Inspection Service) terhadap makanan atau produk pertanian yang anda bawa. Di atas pesawat sebelum mendarat anda diharuskan  mengisi passenger declaration dan melaporkan makanan atau produk pertanian yang anda bawa, seperti buah-buahan, sayuran, daging, bahan dari kulit, telur, madu, mi instan bahkan patung kayu atau suvenir yang anda bawa dan terbuat dari kulit atau bulu binatang. Begitu mendarat, anda harus melaporkannya kepada petugas karantina. Sebagian barang yang anda bawa tersebut biasanya harus dibuang dan dimasukkan ke dalam quarantine bin dan tidak boleh dibawa keluar. Seringkali juga anda diharuskan membersihkan sepatu anda dari tanah dan kotoran yang melekat sebelum keluar dari bandara.

Jangan sekali-sekali anda tidak melaporkan atau declare makanan atau bahan produk pertanian yang anda bawa, disamping barang anda akan disita, anda juga akan kena denda yang jumlahnya cukup besar. Seorang teman saya pernah mengalami hal tersebut. Pada waktu mau berangkat ke bandara, di rumah ia diberi dua buah apel oleh istrinya untuk dimakan di jalan. Apel yang dimasukkan ke dalam tas terlupakan untuk dimakan dan terbawa sampai Sydney. Ia tidak declare karena tidak sadar membawa apel, dan waktu diperiksa petugas karantina baru ketahuan ia membawa apel tersebut. Akibatnya? Ia terlambat keluar bandar karena harus menjawab pertanyaan petugas karantina dan membayar denda yang jumlahnya cukup besar.

Mengapa petugas karantina di Australia begitu ketat melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap makanan atau produk pertanian impor? Australia sangat takut akan masuknya berbagai jenis organisme yang merupakan spesies asing (alien atau invasive species) seperti virus, bakteri, cendawan, gulma, dan serangga yang berpotensi menjadi hama yang merusakkan pertanian, kehutanan dan lingkungan. Produk pertanian seperti ternak sapi, biri-biri, buah-buahan (apel, jeruk, anggur) dan gandum merupakan penyumbang penting pendapatan nasional Australia.

Sebagai contoh, Australia punya pengalaman dengan kelinci dan unta. Pada tahun 1759, Thomas Austin dari Inggris membawa 24 ekor kelinci ke Australia dan melepaskannya sebagai obyek olah raga berburu. Tiadanya musuh alami menyebabkan kelinci tersebut berkembang biak dengan pesatnya dan sekarang jumlahnya yang jutaan telah menjadikannya sebagai hama pertanian yang penting. Sedangkan unta pertama kali dibawa ke Australia pada tahun 1840-an sebagai tunggangan mengarungi gurun pasir. Sebagian unta ini telah menjadi liar dan terus berkembang biak. Saat ini terdapat sekitar satu juta unta liar, yang menjadi pesaing domba dan sapi di dalam mencari makanan, disamping memasuki kawasan penduduk dan merusak rumah untuk mencari air. Tahun 2009 ini pemerintah Australia berencana membunuh 650.000 ekor unta-unta liar ini dengan biaya sebesar 19 juta dollar.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia punya pengalaman dengan  masuknya berbagai jenis spesies asing. Contoh yang paling populer adalah  eceng gondok  dan bekicot. Eceng gondok pertama kali dimasukkan ke Indonesia sebagai tanaman hias melalui Kebun Raya Bogor pada sekitar tahun 1921. Akibat kecepatan tumbuhnya, saat ini telah menjadi gulma perusak lingkungan perairan seperti sungai dan danau.  Pada tahun yang sama, bekicot yang berasal dari Afrika masuk ke Sumatera melalui Singapura. Lima tahun kemudian pada tahun 1926, hewan ini telah masuk ke pulau Jawa sebagai binatang peliharaan melalui kiriman pos paket. Bekicot kemudian berkembang biak menjadi hama sayuran yang penting. Untungnya sekarang banyak dicari orang, karena dagingnya bisa diekspor.

Disamping kedua contoh di atas, terdapat sederet panjang contoh masuknya berbagai jenis spesies asing ke Indonesia dan saat ini telah menjadi hama pertanian yang penting. Pada tahun 1876, dari Srilanka masuk penyakit karat daun pada kopi, yang disebabkan oleh cendawan Hemileia vastatrix. Sejak itu sang cendawan menjadi penghancur  tanaman kopi terutama yang ditanam di dataran rendah. Pada tahun 1909, hama tanaman kopi bertambah dengan masuknya kumbang penggerek buah kopi bernama Stephanoderes hampei yang berasal dari Afrika. Pada tahun 1949, penyakit cacar teh (blister blight) yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans masuk ke Indonesia dari Srilanka. Penyakit cendawan ini pertama kali diketemukan di Sumatera Utara, dan pada tahun 1951 telah menyebar ke perkebunan teh di Jawa yang menyebabkan turunnya produksi antara 20 sampai 50 persen. Di awal tahun 1980, keong mas (golden apple snail) dengan nama latin Pomacea canaticulata dimasukkan ke Indonesia dari Taiwan sebagai fauna kuarium. Binatang ini kemudian menyebar ke seluruh Indonesia dan menjadi hama tanaman padi yang sangat penting. Pada tahun 1982 pertama kali diketemukan penyakit baru pada pisang yang dikenal sebagai bunchy top virus. Tidak diketahui dari mana dan melalui apa masuknya, tapi sekarang penyakit tersebut telah menyebar ke seluruh Indonesia menyerang pertanaman pisang. Pada tahun 1986 diketemukan penyakit hangus daun (leaf scorch) yang menyerang tanaman tebu di Lampung. Penyakit baru ini masuk melalui bibit tebu yang dibawa dari Brazil oleh seorang konsultan dari Amerika Serikat untuk keperluan uji coba.  Selanjutnya, pada tahun 2003 pertama kali diketemukan di Batu, Jawa Timur, penyakit yang menyerang tanaman kentang yang disebabkan oleh nematoda sista kuning (Globodera rostochiensis) yang sebelumnya tidak ada di Indonesia. Penyakit ini diperkirakan masuk ke Indonesia melalui impor bibit kentang dari Eropa.
  
Bahan makanan dan produk pertanian yang dibawa dari luar negeri dapat menjadi awal bencana Bahan makanan dan produk pertanian tersebut dapat menjadi media pembawa spesies asing. Masuknya spesies asing ke Indonesia dapat menjadi hama bagi pertanian Indonesia atau menjadi perusak lingkungan. Bencana akan muncul karena serangan hama tersebut dapat menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak lingkungan, dan merusak kelestarian sumber daya pertanian, yang seringkali menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Karena alasan inilah, mengapa bahan makanan dan produk pertanian tersebut harus melalui pemeriksaan karantina.


* Penulis adalah pengamat masalah perkarantinaan.

Comments