ARTI PENTING KARANTINA TUMBUHAN


 Secara umum, bagi Indonesia yang merupakan negara agraris, karantina tumbuhan mempunyai arti yang sangat penting, terutama dalam upaya pencegahan masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama penyakit tumbuhan, seperti serangga, virus, bakteri, cendawan, dan gulma, yang belum ada di Indonesia, yang dapat menghancurkan pertanian Indonesia. Serangan OPT tersebut dapat menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak lingkungan, merusak kelestarian sumber daya pertanian dan menghambat ekspor. Kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT ini seringkali menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional. Dalam Bab ini akan dibahas bagaimana pentingnya pertanian di Indonesia, besarnya kerugian akibat serangan OPT, tujuan karantina tumbuhan, berbagai contoh OPT karantina yang belum ada di Indonesia, dan contoh OPT yang tadinya tidak ada di Indonesia dan sekarang menjadi hama atau penyakit yang  merusakkan berbagai jenis tanaman yang mempunyai arti penting dalam perekonomian Indonesia.

1. Indonesia Sebagai Negara Agraris

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan berbagai sumber daya alam hayati, termasuk berbagai jenis flora dengan berbagai keunikan dan keanekaragamannya, sehingga Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara di dunia dengan mega-biodiversity. Indonesia dengan luas daratan yang hanya 1,3% dari keseluruhan permukaan bumi, kaya dengan berbagai spesies flora. Sebagai contoh, Indonesia memiliki sekitar 27.500 spesies tumbuhan berbunga, atau lebih dari 10% dari tumbuhan berbunga  di dunia (Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2001). Berbagai jenis tumbuhan telah memberikan sumbangan sebagai bahan obat-obatan, sumber bahan pangan, bahan baku industri dan berbagai keperluan lainnya.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki daratan seluas 181 juta hektar, dimana 86% merupakan lahan pertanian. Sektor pertanian merupakan penggerak utama pembangunan ekonomi nasional dan regional dengan kontribusinya terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan pendapatan dari ekspor, penyediaaan makanan dan bahan baku untuk industri, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Bukti empiris menunjukkan bahwa selama krisis ekonomi tahun 1998-1999, sektor pertanian menjadi lebih resisten terhadap tekanan eksternal dibanding sektor lain, sehingga sektor pertanian menjadi penyangga ekonomi nasional, khususnya dalam memasok makanan, sumber pendapatan, kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Pertanian juga telah menjadi sektor utama di dalam pembangunan pedesaan melalui pembangunan perusahaan berbasis pertanian. Dengan pertumbuhan yang konsisten dan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar, sektor pertanian telah memberikan kontribusi yang berkelanjutan di dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut Badan Pusat Statistik (2006), dalam tahun 2005 PDB sektor pertanian secara umum (termasuk kehutanan dan perikanan) pada harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 254.391,3 miliyar. Ini terdiri dari tanaman pangan sebesar Rp. 125.757,5 milyar, non tanaman pangan sebesar Rp. 40.429,9 milyar, peternakan dan produknya sebesar Rp. 32.581,9 milyar, kehutanan sebesar Rp. 16.981,9 milyar dan perikanan Rp. 38.640,8 milyar.

Dibanding tahun sebelumnya, PDB sektor pertanian meningkat. Dalam tahun 2004 PDB pada harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 248.222,8 milyar. Ini terdiri dari tanaman pangan sebesar Rp. 122.611,7 milyar, non tanaman pangan  Rp. 39.548 milyar, peternakan dan produknya Rp. 31.672,5 milyar, kehutanan Rp. 17.333,8 milyar, dan perikanan Rp. 37.056,8 milyar.

Tingkat pertumbuhan PDB pada harga konstan tahun 2000 untuk sektor pertanian pada tahun 2005 adalah 2,49 persen, dan dalam tahun 2004 sebesar 3,26 persen. Persentase distribusi dari PDB pada harga bersangkutan pada tahun 2005 sebesar 13,40 persen dan dalam tahun 2004 sebesar 14,59 persen. Selama periode 2000-2003, rata-rata tingkat pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 1,83 persen per tahun, lebih tinggi dari masa krisis (1998-1999) yang hanya 0,88 persen per tahun, dan periode sebelum krisis (1983-1997) sebesar 1,57 persen per tahun.

Di Indonesia  sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja paling besar (sekitar 44,2 % dari seluruh tenaga kerja). Dengan total ekspor komoditas pertanian sebesar 22,8 juta ton atau senilai US$12,2 juta pada tahun 2005, Indonesia menduduki peringkat ke-20 negara eksportir terbesar komoditas pertanian di dunia. Berdasarkan produk Domestik Bruto (PDB) periode 2000-2005, sektor pertanian memiliki pangsa sebesar 14.9% (Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, 2005).

2. Kerugian Akibat Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)

Pembangunan  pertanian di Indonesia, yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, bertujuan antara lain untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, guna memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, kebutuhan bahan baku industri maupun mengisi pasar dalam negeri dan memperluas pasar luar negeri untuk menambah sumber devisa. Usaha peningkatan kualitas dan kuantitas hasil produksi pertanian selama ini masih mengalami berbagai kendala. Kendala tersebut di antaranya adalah ancaman OPT pada hasil pertanian. Serangan OPT tersebut dapat menurunkan produksi, menurunkan kualitas, meningkatkan biaya pengendalian, merusak lingkungan, merusak kelestarian sumber daya pertanian dan menghambat ekspor. Kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT ini seringkali menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan nasional.

Menurut Departemen Pertanian (2003), dalam kurun waktu 1998-2001, serangan OPT  pada tanaman padi, jagung dan kedelai telah menimbulkan kerugian sekitar Rp. 463 milyar setiap tahun. Serangan OPT pada beberapa tanaman perkebunan di tahun 1999 telah menimbulkan kehilangan produksi dengan potensi kerugian mencapai Rp. 340 milyar. Berdasarkan rata-rata serangan tahun 1999-2003, kerugian potensial di tingkat petani karena serangan OPT hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, kubis dan tomat) diasumsikan rata-rata sebesar Rp. 1,7 triliun per tahun. Kerugian secara nyata di lapangan tentu lebih besar karena belum mencakup data semua jenis OPT dan tanaman yang terserang.

Kerugian atau kerusakan akibat OPT terhadap manusia seringkali sangat dahsyat. Contoh yang paling klasik adalah peristiwa tragis yang dialami oleh Irlandia sekitar 150 tahun yang lalu. Selama pertengahan abad 19 populasi penduduk Irlandia sangat meningkat, membuat negara ini menjadi negara yang paling padat penduduknya di Eropa. Untuk mengimbangi pertambahan penduduk yang makin pesat ini, maka penanaman kentang sebagai makanan pokok diperluas dan diharapkan bahwa hasil panen kentang tersebut akan bisa memenuhi kebutuhan makanan penduduk. Akan tetapi kemudian muncul outbreak dari penyakit blight yang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans pada pertanaman kentang di sana. Akibatnya seluruh pertanaman kentang di Irlandia menjadi hancur, yang menyebabkan terjadinya kelaparan hebat di seluruh Irlandia pada tahun 1845. Sekitar satu juta penduduk Irlandia mati kelaparan dan penduduk lainnya berbondong-bondong melakukan migrasi besar-besaran ke luar negeri.

Pada tahun 1908 telah masuk ke Amerika Serikat (AS) OPT kapas Anthonomus grandis, dari Meksiko. Sejak saat itu hama ini menjadi OPT perusak kapas yang paling ganas di AS bagian selatan. Empat tahun sejak OPT ini masuk, produksi kapas di AS hanya tinggal sepertiganya. Biaya pemberantasannya diperkirakan sebesar $375 juta per tahun. Biaya tersebut meningkat sampai $900 juta pada tahun 1955, ketika timbul outbreak. Di awal tahun 1920, Departemen Pertanian AS memperkirakan bahwa setiap warga negara Amerika mengeluarkan tambahan $10 setiap tahun untuk pakaian sebagai akibat kerusakan perkebunan kapas oleh OPT ini (Pusat Karantina Pertanian, 1999b).

Di Indonesia, sebagai contoh dapat kita lihat dari kerugian yang yang diderita akibat serangan  penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem Degeneration) pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. OPT ini pertama kali diketemukan di daerah sentra jeruk di Garut, Jawa Barat, pada tahun 1964. Akibat serangan CVPD memang dahsyat, terutama terlihat di Jawa Barat. Sebelum tahun 1964 areal pertanaman jeruk di Jawa Barat luasnya 14.679 ha dengan produksi 140.448 ton. Tetapi pada tahun 1969 telah merosot secara drastis sampai hanya tinggal 1.976 ha dengan produksi 512 ton saja (Diphayana, 1976). Jutaan pohon jeruk di Jawa Barat telah musnah. Pada tahun 1980, sejak serangan pertama CVPD, diperkirakan sekitar satu juta pohon jeruk telah mati. Antara tahun 1964 dengan 1969 diperkirakan kerugian petani jeruk mencapai nilai Rp. 13,997 milyar, dengan harga jeruk pada waktu itu Rp. 100,00 per kg (Suwanda dan Surachmat, 1983). Dengan harga sekarang, tentunya nilai kerugian petani jeruk akibat CVPD sangat besar sekali.

Pertanaman kakao di Indonesia saat ini tengah diserang oleh OPT penggerek buah kakao (PBK) yang disebabkan oleh serangga  Conopomorpha cramerella. OPT ini mampu mengurangi produksi kakao antara 50% sampai 80%, apalagi kalau digabungkan dengan kerusakan OPT kakao lainnya, yaitu Helopeltis sp, kerusakaan yang ditimbulkan akan lebih hebat lagi. OPT ini telah ada di beberapa bagian wilayah Asia Tenggara sejak 150 tahun yang lalu.  PBK pertama kali mewabah di Toli-toli, Sulawesi Tengah, dan pada tahun 2004 menyebar luas ke seluruh Sulawesi dan menyerang pertanaman kakao seluas 300.000 ha milik petani di sana. Saat ini PBK telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Untuk Sulawesi saja, kerugian yang ditimbulkan hama PBK ini diperkirakan mencapai US$150 juta per tahun, yang hampir seluruhnya menjadi tanggungan petani kakao (Nugroho, Ramin dan Adi, 2005).

3. Tujuan Karantina Tumbuhan

Tujuan dari karantina tumbuhan secara umum adalah mencegah masuk dan tersebarnya OPT atau hama penyakit tumbuhan, dari suatu daerah ke daerah lain dengan jalan undang-undang. Menurut Undang-Undang No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, karantina tumbuhan bertujuan :
a)    mencegah masuknya OPT karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara RI;
b)    mencegah tersebarnya OPT karantina dari suatu area ke area lain dalam wilayah negara RI; dan
c)     mencegah keluarnya OPT tertentu dari wilayah negara RI apabila negara tujuan menghendakinya.

Yang dimaksud dengan area meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran OPT.

Dewasa ini Indonesia masih bebas dari sekitar 583 jenis OPTK. Sedangkan sekitar 1.200 jenis OPT lainnya sudah terdapat di Indonesia, dan sekitar 103 jenis belum menyebar ke semua area atau pulau di Indonesia. Di samping itu berbagai jenis OPT yang sudah ada di Indonesia belum terdapat di berbagai negara lain. Semakin meningkatnya volume dan frekuensi lalu lintas perdagangan hasil pertanian telah mengakibatkan risiko penularan dan penyebaran OPT menjadi semakin meningkat pula. Oleh karena penyebarannya terutama melalui perdagangan, maka lalu lintas hasil pertanian perlu diatur, antara lain melalui karantina tumbuhan.

4. Berbagai Contoh OPT Karantina Yang Belum Ada di Indonesia

Salah satu OPT buah-buahan yang ditakuti Indonesia adalah lalat buah Laut Tengah (Meditteranean fruit fly) dengan nama latin Ceratitis capitata, yang saat ini merupakan OPT penting dari sekitar 250 jenis buah-buahan, sayuran dan biji-bijian. Hama ini terdapat di Amerika Serikat (khususnya Hawaii dan Florida), beberapa negara di kawasan Pasifik, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Australia. Lalat buah ini berasal dari wilayah tropis Afrika barat, dan kemudian menyebar ke  Afrika utara dan selatan. Pada abad ke 19, OPT ini memasuki Eropa, Timur Tengah, Australia dan Amerika Selatan. Selanjutnya memasuki Hawaii pada tahun 1907 dan kemudian ke Florida tahun 1929. Sewaktu OPT ini memasuki Florida, AS, untuk pertama kalinya pada tahun 1929, pemerintah negara bagian Florida mengeluarkan dana sebesar $ 6,85 juta untuk upaya eradikasi. Pada tahun 1956, ketika OPT ini kembali memasuki Florida, dikeluarkan biaya sebesar $30 juta untuk eradikasi selama 3 tahun. Sejak tahun 1975, pemerintah negara bagian California melakukan upaya eradikasi dengan biaya yang sangat besar. Misalnya pada tahun 1980-1982 dikeluarkan biaya $100 juta, tahun 1989-1990 sebesar $60,6 juta, tahun 1993-1994 sebesar $38,5 juta, dan dari tahun 1994 sampai 1996 dikeluarkan biaya lebih dari $30 juta per tahunnya. Negara bagian California, sebagai negara bagian produsen buah-buahan utama di AS, sangat terancam oleh adanya OPT ini. Ceratitis capitata mengancam ekspor buah-buahan mereka yang berjumlah lebih dari 20.000 ton, dengan nilai $1,6 milyar, dan senilai $4,2 milyar di pasar domestik. Seandainya ekspor buah-buahan dari California ditolak oleh negara lain akibat adanya lalat buah ini, diperkirakan sekitar 35.000 orang akan kehilangan pekerjaan, pengurangan nilai output sebesar $3,6 milyar, dan pengurangan pendapatan penduduk California sebesar $939 juta. Seandainya, negara Jepang saja melakukan embargo buah-buahan dari California karena adanya OPT tersebut, maka 6.000 orang di California akan kehilangan pekerjaan, pendapatan negara sebesar $618 juta akan hilang, dan pendapatan perseorangan penduduk California berkurang sebesar $939 juta (CDFA, 1999).

Tanaman kelapa sawit Indonesia diancam oleh penyakit lethal yellowing, yang saat ini berada di Kostarika. Sebagai contoh kerusakannya, penyakit lethal yellowing yang menyerang provinsi Zambezia, Mozambik, pada tahun 2007 telah menghancurkan 125.000 tanaman kelapa di sana, yang berarti kehilangan 625 ton kopra. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, sekitar 81.000 tanaman kelapa yang terserang telah dimusnahkan atas perintah pemerintah setempat, dan pengeluaran tanaman kelapa dan produk kelapa dilarang dikeluarkan dari provinsi tersebut (http://www.poptel.org.uk).

Di Amerika tropis saat ini tengah berkecamuk SALB (South American Leaf Blight) yang disebabkan oleh cendawan Microcyclus ulei.  OPT ini terkenal sebagai perusak tanaman karet nomor satu di dunia. Perkebunan karet yang diusahakan secara luas di awal abad 20 di Suriname dan Guiana Inggris, sejak tahun 1913 terpaksa dihentikan karena tidak teratasinya OPT ini. Pada tahun 1927, perusahaan mobil Ford membangun perkebunan karet di Fortladia, Brazil, seluas 8.750 ha, akan tetapi sebelum tahun 1933 seperempat bagian perkebunan tersebut terpaksa harus dipindahkan ke daerah Belterea, juga di Brazil, yang iklimnya lebih kering dengan harapan bahwa pertanaman karet di sana dapat bebas dari SALB, tapi ternyata nasibnya sama dengan perkebunan di Fortlandia. Dalam tahun 1935, perkebunan Good Year di Panama mulai dijangkiti SALB dengan hebatnya, dan lima tahun kemudian terpaksa ditutup. Pengusahaan karet di Panama mengalami kemunduran hebat setelah SALB menyerang negara tersebut. Lumpuhnya usaha budi daya karet alam di Amerika Latin, menyebabkan sebagian besar kebutuhan karet alam dunia, yaitu hampir 90% dipenuhi oleh Asia, termasuk Indonesia yang masih bebas dari penyakit tersebut. Mencegah penyakit SALB masuk ke Indonesia, berarti menyelamatkan  (i) aset nasional berupa kebun, pabrik, peralatan, keahlian senilai lebih dari Rp.11 triliun; (ii) 12 juta orang petani karet; (iii) 3 juta ha lebih areal kebun karet; (iv)  devisa negara sebesar + US.$ 1,2 milyar; dan (v) seluruh industri berbahan-baku karet dengan 3 juta orang tenaga kerja.

Di Filipina terdapat sejenis virus yang menyerang tanaman kelapa. Kerugian yang ditimbulkannya hebat sekali. Sejak pertama kali diketemukan di Filipina pada tahun 1926, diperkirakan lebih dari 30 juta  pohon kelapa telah mati  oleh keganasan penyakit tersebut. OPT ini dikenal sebagai penyakit Cadang-cadang, yang merupakan ancaman yang serius untuk daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Filipina. OPT virus yang belum ada di Indonesia lainnya, misalnya Cocoa swollen shoot virus yang menyerang tanaman kakao di Afrika Barat, dan dilaporkan telah menimbulkan  kerusakan terhadap 1,5 juta pohon kakao setiap tahunnya (Hunter, 2001).

5. Contoh OPT Asing Yang Telah Masuk ke Indonesia

Dalam sejarah Indonesia, berbagai OPT yang sebelumnya ada di luar negeri  dan belum ada di Indonesia telah masuk ke Indonesia dan menimbulkan berbagai kerusakan dan kerugian terhadap pertanian dan lingkungan.

Pada tahun 1876, telah masuk ke Indonesia penyakit karat daun pada kopi, yang disebabkan cendawan Hemileia vastatrix, dari Sri Lanka (Ceylon). OPT ini telah menghancurkan pertanaman kopi di dataran rendah (di bawah 1.000 m dari permukaan laut). Sebelum ada serangan Hemileia vastatrix, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. Kopi arabika (Coffea arabica) merupakan jenis kopi yang pertama dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1696, dan selama tahun 1696-1699 menyebar di pulau Jawa. Selama sekitar satu abad, kopi arabika merupakan satu-satunya komoditi komersial yang ditanam Belanda di Indonesia. Sayangnya, serangan penyakit karat telah menghancurkan sebagian besar perkebunan kopi tersebut (http://ilmiahpertanian.blogspot.com).

Pada tahun 1909, telah masuk ke Indonesia sejenis kumbang penggerek buah kopi (Stephanoderes hampei), yang berasal dari Afrika dan pertama kali ini diketemukan di Jawa Barat. Pada tahun 1918 OPT ini sudah menyerang secara hebat tanaman kopi rakyat di Jawa Timur, dan selanjutnya menyebar ke Kalimantan dan Sumatera. Kerusakan pada buah kopi terjadi karena OPT tersebut meninggalkan telurnya di buah kopi dan setelah menjadi larva akan menggerek buah kopi tersebut menyebabkan buah kopi yang diserangnya akan berjatuhan (Laoh, 2002)

Tahun 1921, keong alias bekicot, yang juga dikenal sebagai siput Singapura (Achatina fulica) dan berasal dari Afrika telah masuk ke pulau Sumatera melalui Singapura. Lima tahun kemudian, pada tahun 1926, OPT ini masuk ke pulau Jawa melalui kiriman pos paket. Bekicot kemudian menjadi OPT yang sangat penting dari berbagai jenis tumbuhan, terutama sayuran (Pusat Karantina Pertanian, 1999b). Bekicot dianggap sebagai OPT yang sangat penting di daerah tropis dan sub tropis karena memakan berbagai jenis tanaman, terutama tanaman hortikultura seperti bunga-bungaan, kacang-kacangan dan sayuran.  Untungnya, sekarang ini bekicot ini banyak dicari orang karena dagingnya yang dapat dimakan dan bahkan menjadi salah satu komoditas ekspor, Walaupun demikian keberadaannya di Indonesia telah menyulitkan ekspor, khususnya ekspor produk pertanian, akibat berbagai hambatan yang ditimbulkannya. Misalnya adanya keharusan melakukan perlakuan tertentu untuk produk pertanian Indonesia untuk mencegah masuknya OPT ini dari Indonesia, dan bahkan Australia menerapkan kewajiban untuk dilakukannya fumigasi menggunakan gas metil bromida terhadap kontainer yang digunakan untuk membawa barang ekspor Indonesia ke sana, untuk mematikan bekicot yang menempel pada kontainer tersebut.

Sekitar tahun 1921, eceng gondok atau water hyacinth yang memiliki nama latin Eichornia crassipes, dimasukkan ke Indonesia melalui Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias. Dari Bogor gulma ini kemudian menyebar ke seluruh Indonesia Akibat kecepatan tumbuhnya yang sangat tinggi, gulma ini telah menjadi perusak lingkungan perairan, terutama sungai dan danau, yang paling dahsyat. Gulma yang berasal dari Amerika Selatan ini, saat ini telah menyebar ke Amerika Tengah, Amerika Utara, Afrika, Asia, Australia dan New Zealand.

Pada tahun 1924 telah berkembang hama kentang Phtorimaea opercullela, atau dikenal sebagai ulat umbi kentang, yang berasal dari Amerika. Pada tahun 1931 sudah menyebar ke Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan dan daerah-daerah lain di Indonesia, dan saat ini hama tersebut telah menjadi salah satu hama utama pertanaman kentang. Hama ini merusak daun dan batang tanaman, kemudian masuk ke dalam tanah untuk merusak umbi kentang. Bahkan umbi kentang di tempat penyimpananpun dapat dirusak oleh hama ini (Laoh, 2002).

Pada bulan April 1949, penyakit cacar teh (blister blight) yang disebabkan oleh cendawan Exobasidium vexans dilaporkan telah masuk ke Indonesia dari Srilanka, dan menulari perkebunan teh Bah-Butong di Sumatera Utara. Pada tahun 1951 telah menulari perkebunan teh di Tugu (Jawa Barat) dan Gunung Semeru (Jawa Timur). Kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Dalam laporannya tahun 1951/1952, Javasche Bank menyatakan bahwa dalam tahun 1951 perkebunan teh di Indonesia menderita kerugian dengan turunnya produksi sebesar 20 sampai 50 persen akibat penyakit ini. Hasil teh Indonesia pada waktu itu berjumlah 114.000 ton. Kerugian diperkirakan senilai Rp. 114 juta, dengan nilai rupiah pada saat itu (Pusat Karantina Pertanian, 1999b).

Pada bulan Oktober 1970, petugas karantina tumbuhan di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang,  untuk pertama kalinya menemukan sejenis hama gudang yang sangat berbahaya yang belum ada di Indonesia, yaitu hama kumbang Khapra (Trogoderma granarium), pada beras impor eks Amerika Serikat. Beras ini kemudian ditahan untuk diberi perlakuan dengan fumigasi menggunakan metil bromida. Berikutnya pada bulan Desember 1972, di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, diketemukan hama ini pada beras impor dari Pakistan. Setelah itu berkali-kali petugas karantina menemukan hama ini pada beras impor di berbagai pelabuhan di Indonesia (Diphayana, 1973). Kumbang Khapra adalah hama asli India, dan saat ini dapat diketemukan di berbagai negara di Asia. Di Indonesia, saat ini dinyatakan bahwa pulau Jawa telah tertular oleh hama ini. Hama ini merupakan salah satu di antara hama yang paling merusak produk pertanian yang disimpan di gudang. Daya tahannya terhadap pestisida sangat tinggi, dapat bertahan pada kondisi yang sangat buruk seperti temperatur yang sangat rendah dan tinggi, dan dalam kondisi tanpa makanan, larva dari hama ini dapat bertahan sampai 13 bulan (Hamzah, 1987).

Di awal tahun 1980, keong mas (golden apple snail) dengan nama latin Pomacea canaticulata dimasukkan dari Taiwan ke Indonesia sebagai fauna akuarium, dan pada tahun 1985-1987 telah menyebar dengan sangat cepat di Indonesia. Saat ini keong yang berwarna keemasan tersebut telah menjadi salah satu OPT penting yang telah banyak menghancurkan pertanaman padi di berbagai daerah. Hewan ini dapat menyerang tanaman padi muda, baik di persemaian maupun bibit yang baru dipindahkan ke sawah. Dengan kepadatan populasi sekitar 10-15 ekor per meter persegi, keong mas mampu menghabiskan tanaman padi muda dalam waktu 3 hari, jika air sawah dalam keadaan tergenang, dan menimbulkan kerusakan yang cukup berat di persawahan. Contoh cepatnya kerusakan akibat hama ini adalah di Filipina. Pada tahun 1986, tercatat 300 hektar sawah irigasi mengalami rusak berat akibat hama ini. Tahun 1987 serangan meningkat menjadi 9.000 hektar, dan pada bulan Januari 1990 sudah mencapai 350.000 hektar. Dari 3 juta hektar sawah di Filipina, sekitar 1,2 sampai 1,6 juta hektar terserang keong ini. Pada tahun 1990, sekitar 212 juta peso diperlukan untuk mengendalikan hama ini. Di Indonesia, pernah dilaporkan di Kabupaten Lampung Selatan, pada bulan Juni 1992 keong mas telah menyerang 4.500 hektar sawah, dengan rata-rata populasi 2-23 ekor per meter persegi (Sulistiono, 2007).

Pada tahun 1986 muncul berita yang menjadi topik di berbagai media masa, yaitu masuknya kutu loncat, yang mempunyai nama latin Heteropsylla incisa, dan menyebabkan kerugian yang sangat besar pada tanaman lamtoro yang pada saat itu sedang galak-galaknya dikembangkan pemerintah. Pada tahun 1983, hama ini dilaporkan menyerang Florida, AS, dan tahun berikutnya merembet ke Hawaii, terus ke Samoa Barat, Guam, New Caledonia, Fiji, Tonga, kepulauan Pasifik selatan, terus ke Filipina sekitar Mei-Juni tahun 1985. Di Indonesia diperkirakan menyerang pada awal tahun 1986, di daerah-daerah Jawa Barat, kemudian seluruh Jawa, Lampung dan seluruh Sumatera, serta berbagai daerah lainnya di Indonesia. Dilaporkan di provinsi Yogyakarta pada awal tahun 1986, hama ini telah menyerang 62 ribu ha tanaman lamtoro, dan di provinsi Nusatenggara Timur serangan mencapai 60-90% pertanaman lamtoro (Triwahyono, 1986).

Pada tahun 1982 pertama kali diketemukan di Jawa Barat penyakit bunchy top virus yang menyerang tanaman pisang. Setelah itu OPT ini menular ke seluruh pulau Jawa, dan sekarang seluruh pertanaman pisang di Indonesia telah tertular penyakit virus ini. Tidak diketahui dari negara mana dan melalui apa masuknya penyakit ini, akan tetapi penyakit ini pertama kali diketemukan di benua Australia pada tahun 1920 (Purakusumah dan Praminto, 1984). Di Queensland, Australia, OPT ini menyebabkan penurunan produksi pisang sampai 95% (Plant Protection Service, 2005). Di India, bunchy top virus telah menyebabkan kerusakan yang serius terhadap pertanaman pisang. Di negara bagian Kerala, setiap tahunnya OPT ini menyebabkan kerugian sebesar Rs. 40 miliar. Di daerah Palanis, 60% pertanaman pisang dihancurkan oleh OPT ini. Secara rata-rata kerusakan akibat OPT ini pada berbagai jenis pisang di India sebesar 40% (Consortium on Micropropagation Research and Technology Development, 2008).

Pada bulan April 1986 di sebuah harian pagi ibukota muncul berita adanya penyakit baru yang menyerang tanaman tebu milik Pabrik Gula Gunung Madu, di Lampung. Penyakit yang menimbulkan gejala seperti hangus pada daun tebu ini, telah merusakkan sekitar 5.000 ha kebun tebu. Setelah diteliti, penyakit ini disebabkan oleh cendawan Stagonospora sacchari, yang karena gejalanya disebut sebagai penyakit hangus daun tebu atau leaf scorch. OPT ini masuk ke Lampung, berawal pada tahun 1980, ketika seorang konsultan dari AS tanpa diminta dan tanpa melalui pemeriksaan petugas karantina tumbuhan, telah membawa varietas tebu SP-701284 dari Brazil untuk diuji coba di Lampung. Jumlah bibit yang dibawa hanya 3 mata. Karena jenis tersebut menunjukkan sifat unggul, penanamannya diperluas hingga mencapai seribu hektar lebih pada tahun 1985. Tujuan baik tersebut telah menyebabkan kerugian yang sangat fatal karena terbawanya OPT yang merusak tersebut, dan sekarang telah menjadi salah satu penyakit tebu penting di Indonesia (Surachmat, 1986).


Pada bulan Januari 2003, sebuah perusahaan pestisida multinasional yang sedang melakukan kemitraan bisnis dengan petani kentang di desa Tulung Rejo, Kecamatan Bumi Aji, Kabupaten Batu, Jawa Timur, memperoleh laporan dari petani bahwa dalam dua tahun terakhir produksi kentang di sana mengalami penurunan produksi yang sangat tajam. Penyebabnya antara lain akibat adanya serangan penyakit yang ditandai dengan gejala tanaman tumbuh terhambat, daun menguning dan umbi kentang mengecil. Dari hasil penelitian kemudian diketahui bahwa tanaman kentang tersebut telah terinfeksi nematoda Globodera rostochiensis atau dikenal sebagai nematoda sista kuning,  golden nematode atau golden cyst nematode (Noerachman dan Suwardi, 2003). Sejak penemuan pertama ini kemudian dilaporkan penemuan-penemuan lainnya di berbagai daerah. Diperkirakan nematoda ini sudah masuk ke Indonesia sejak sekitar tahun 1986 melalui impor benih kentang dari Eropa, karena nematoda jenis ini memerlukan waktu sekitar 17 tahun untuk berkembang dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Masuknya OPT ini merupakan suatu kerugian besar bagi pengembangan hortikultura Indonesia, khususnya kentang, karena ancaman kerusakan dan kerugian yang dapat ditimbulkannya. Di Chili, Italia dan Polandia telah menurunkan tingkat produksi kentang sampai 70% (SKT Cilacap, 2008).  Kentang dan tomat merupakan tanaman utama yang diserangnya. Nematoda sista kuning ini merupakan OPT utama dalam pertanaman kentang di Eropa. OPT ini berasal dari Peru. Masuk ke Eropa pada tahun 1901 dan mampu merusakkan panen umbi kentang sampai 70% (Purakususmah dan Praminto, 1984). OPT ini kemudian menyebar ke berbagai negara seperti India, Kanada, AS dan sekarang Indonesia. Di Inggris kerugian per tahun akibat OPT ini berjumlah 4 juta pounsterling (Balai Karantina Tumbuhan Tanjung Priok, 2000). Di inggris diperkirakan 75% tanah pertanaman kentang sudah tertular OPT ini. Di AS,  OPT ini pertama kali diketemukan tahun 1941 di Nassau County di Long Island, New York, kemudian diketemukan di delapan lokasi lainnya. Selama lebih dari 60 tahun telah dilakukan upaya karantina terhadap wilayah-wilayah yang telah tertular. AS sangat ketakutan, karena apabila OPT ini dapat menyebar ke daerah lain, diperkirakan akan diperlukan biaya yang mencapai $4,8 milyar setiap tahunnya untuk usaha pemberantasan (APHIS, 2008). 

Comments