ATURAN SPS (SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES) SEBAGAI HAMBATAN NON-TARIF DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL PRODUK PERTANIAN

Oleh :
Wahono Diphayana


Indonesia mensyaratkan perbaikan perdagangan kakao di Amerika Serikat (AS) untuk membuka pintu impor bagi daging sapi dari AS. Selain sapi,  Amerika Serikat meminta Indonesia membuka keran impor anggur yang sampai sekarang dihambat Indonesia karena masalah lalat buah (Media Indonesia, 14 Juni 2007).

Untuk produk kakao yang diekspor Indonesia ke AS, sampai saat ini masih mengalami automatic detention, karena dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Alasan dilakukannya tindakan ini terutama dikarenakan terdapatnya kotoran (filth), jamus, bakteri serta kontaminasi serangga. Berbagai upaya telah dilakukan berbagai pihak terkait di Indonesia untuk menyelesaikan masalah ini sejak awal tahun 1990, akan tetapi sampai saat ini ternyata belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.

Menyangkut impor daging sapi, selama ini Indonesia melarang pemasukan daging sapi dari AS dikarenakan adanya kasus penyakit sapi gila (mad cow) atau bovine spongiform encephalopathy (BSE)  di negara tersebut. Akan tetapi, menurut laporan organisasi kesehatan hewan dunia, Office Internationale des Epizooties (OIE),  saat ini AS dianggap sudah dapat mengontrol penyakit ini sehingga dimungkinkan negara yang masih bebas dari penyakit sapi gila, termasuk Indonesia, untuk mengimpor daging sapi dari AS. Indonesia berencana untuk mengirim tim ke AS untuk melakukan survei dan verifikasi kesehatan sapi di sana. Disamping dari AS, Indonesia juga melarang pemasukan hewan, terutama sapi, serta produk dan bahan asal hewan, dari negara-negara yang telah tertular penyakit sapi gila, seperti  dari negara-negara anggota Uni Eropa.

Larangan pemasukan daging sapi dari berbagai negara oleh Indonesia, bukan hanya dari negara yang tertular penyakit sapi gila tapi juga dari negara yang tertular penyakit mulut dan kuku (foot and mouth disease). Padahal sebagian besar negara di dunia penghasil ternak telah tertular penyakit ini. Akibatnya, sampai saat ini, untuk memenuhi kebutuhan daging dan ternak, khususnya sapi, di dalam negeri, Indonesia hanya mengimpor dari negara-negara yang masih bebas penyakit mulut dan kuku dan sapi gila, yaitu Australia dan New Zealand. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia yang sangat besar kepada kedua negara tersebut dalam impor ternak dan daging sapi. Misalnya, walaupun harga ternak dan daging sapi jauh lebih murah di India dibanding Australia dan New Zealand, tetapi Indonesia tidak dapat mengimpor dari negara tersebut karena adanya penyakit mulut dan kuku di India, yang ditakutkan bisa terbawa masuk ke Indonesia yang telah bebas dari  penyakit tersebut.

Bebarapa bulan yang lalu Indonesia telah menghentikan impor poultry meat meal (PMM) dari Spanyol, dan memusnahkan serta mereekspor puluhan container produk makanan unggas ini, karena ternyata mengandung bahan asal tulang sapi yang merupakan meat bone meal (MBM), yang ditakutkan dapat membawa penyakit sapi gila. Indonesia secara resmi telah meminta klarifikasi dari Uni Eropa sebagai wakil  pemerintah Spanyol di World Trade Organization (WTO). Indonesia juga telah membatalkan dan menghentikan Surat Perizinan untuk impor produk turunan daging atau PMM dari Spanyol untuk kebutuhan pakan unggas di dalam negeri karena sering disalahgunakan untuk importasi tepung tulang yang dilarang pemerintah. Berdasar data OIE, Spanyol termasuk dalam daftar negara dengan peringkat kasus penyakit sapi gila tertinggi bersama Inggris, Slovakia dan Irlandia.

Indonesia sampai saat ini masih membatasi masuknya buah-buahan dari AS karena adanya beberapa jenis lalat buah yang belum ada di Indonesia, yaitu Mediteranean fruit fly dan apple maggot. Pada bulan Nopember 2006, Indonesia telah mengirimkan tim ahli untuk melakukan on-site inspection ke beberapa sentra produksi buah-buahan di negara bagian California, yang meliputi Fresno, Madera, Kings, Tulare, Kern, Riverside dan Los Angeles. Kunjungan  tersebut dilakukan dalam rangka verifikasi terhadap wilayah atau area yang bebas Mediterranean fruit fly di California, dengan melakukan observasi terhadap pelaksanaan program surveillan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian AS (United States Department of Agriculture), serta mengumpulkan data sebagai bahan penilaian California sebagai Mediterranean fruit fly free area oleh Badan Karantina Pertanian. Berdasarkan hasil verifikasi berpedoman pada International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) nomor 26 tentang “Establisment of pest free areas for fruit flies (Tephritidae), maka Mediterranean fruit fly free area di California telah memenuhi semua kriteria pest free area untuk lalat buah tersebut. Dengan standard suhu penyimpanan -1 hingga 00 Celcius akan dapat mempertahankan kualitas buah anggur tetap baik ketika tiba di Indonesia.

Sedangkan untuk apple maggot, lalat buah yang menyerang apple, AS belum berhasil membangun area atau wilayah yang bebas hama ini sesuai dengan ISPM nomor 26.  Dari data yang diperoleh ternyata di daerah program bebas hama tersebut masih diketemukan hama ini. Sampai saat ini Indonesia masih bebas dari hama ini.

Bila Mediterranean fruit fly dan  apple maggot masuk ke Indonesia, ditakutkan hama ini bukan hanya menghancurkan tanaman anggur dan apple, akan tetapi menghancurkan tanaman buah-buahan lainnya, karena berbagai jenis buah-buahan dan sayuran menjadi inang dari lalat buah ini. Disamping itu bertambahnya jenis lalat buah baru di Indonesia akan menambah panjang daftar penolakan dari negara lain terhadap ekspor buah-buahan dan sayuran Indonesia dengan alasan adanya jenis lalat buah tertentu yang belum ada di negara pengimpor.  

Akibat adanya jenis lalat buah tertentu, Indonesia saat ini mengalami kesulitan untuk memasuki pasar buah-buahan dan sayuran di berbagai negara. Berbagai jenis buah-buahan dan sayuran Indonesia ditolak untuk memasuki Negara Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, China dan lain-lain akibat adanya jenis lalat buah yang belum ada di negara tersebut. Terdapat beberapa jenis lalat buah Indonesia yang sangat ditakuti oleh negara-negara tersebut karena dampak kerusakan yang ditimbulkannya, di antaranya adalah Bratocera dorsalis dan Bratocera cucurbitae.

Disamping itu, saat ini Indonesia juga mengalami berbagai masalah akibat adanya hama atau penyakit tertentu di Indonesia. Sebagai contoh, saat ini produk pakan ternak dari Indonesia ditolak oleh Brunei Darusallam akibat adanya penyakit Avian Influenza (AI) yang menyerang unggas di Indonesia dan negara tersebut masih bebas dari AI. Padahal bahan baku pakan ternak tersebut tidak ada yang menggunakan bahan asal unggas.

Australia sampai saat ini masih mengharuskan seluruh kontainer asal Indonesia yang digunakan untuk mengangkut berbagai jenis produk ekspor  ke Australia, harus difumigasi dahulu menggunakan methyl bromida dengan dosis yang sangat tinggi 126 gram per meter kubik untuk memusnahkan dan mencegah terbawanya keong alias Giant African Snail (GAS) yang menempel di kontainer tersebut. Padahal dosis fumigasi untuk memberantas hama lainnya pada produk pertanian hanya sekitar 32 gram per meter kubik.   Alasannya, sampai saat ini Australia masih bebas dari hama ini, dan sampai saat ini belum ada satu pelabuhanpun di Indonesia  yang dianggap sudah bersih dari keong ini. Keharusan untuk memfumigasi kontainer ini jelas menambah biaya ekspor  berbagai jenis produk  yang diekspor dari Indonesia ke Australia.

Hambatan perdagangan untuk produk pertanian berupa pelarangan atau pembatasan impor,  akibat adanya hama atau penyakit di suatu negara, dalam perdagangan internasional dikenal sebagai masalah sanitary and phytosanitary measures (SPS). Sanitary terkait dengan kesehatan manusia dan hewan sedangkan phytosanitary menyangkut kesehatan tanaman atau tumbuhan.

Perjanjian SPS  (Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures) merupakan salah satu perjanjian  di antara berbagai  perjanjian yang ditandatangani dalam rangka Putaran Uruguay atau General Agreements on Tariff and Trade (GATT) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang di antaranya juga menyepakati dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995.

Perjanjian SPS menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam mengatur produk-produk impor-ekspor. Aturan SPS adalah semua aturan yang dibuat untuk (1) melindungi kehidupan atau kesehatan hewan dan tumbuhan di dalam wilayah negara anggota dari resiko yang timbul dari pemasukan dan penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit; (2) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan di dalam wilayah negara anggota dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan aditif, kontaminan, toksin atau organisme penyebab penyakit di dalam makanan, minuman atau pakan; (3) melindungi kehidupan atau kesehatan manusia di dalam wilayah Negara anggota dari resiko yang ditimbulkan oleh penyakit yang terbawa hewan, tanaman atau produk asal hewan dan tanaman, atau yang ditimbulkan oleh pemasukan, perkembangan dan penyebaran organisme pengganggu; dan (4) mencegah atau membatasi kerusakan lainnya di dalam wilayah negara anggota yang disebabkan oleh pemasukan, perkembangan dan penyebaran organisme pengganggu.

Aturan SPS meliputi undang-undang, surat keputusan, persyaratan dan prosedur, metode pengujian, pemeriksaan, prosedur sertifikasi dan pelepasan, perlakuan karantina, metode statistika, prosedur sampling, metode penilaian resiko, dan persyaratan pengepakan dan pelabelan yang langsung berkaitan dengan keamanan makanan.

Dalam perjanjian SPS diatur pula hak dan kewajiban negara anggota, yaitu (1) negara anggota mempunyai wewenang untuk membuat aturan SPS untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan atau tanaman asalkan aturan tersebut tidak bertentangan dengan kesepakatan ini; (2) negara anggota hanya boleh menerapkan aturan SPS yang benar-benar diperlukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tanaman dengan berdasarkan dasar-dasar ilmiah; dan (3) negara anggota tidak boleh menerapkan aturan SPS yang menimbulkan diskriminasi di antara sesama anggota, dan aturan SPS tidak boleh digunakan secara terselubung untuk tujuan membatasi perdagangan internasional.

Dengan ditandatanganinya GATT dan dibentuknya WTO, negara-negara di dunia menyetujui dilaksanakannya perdagangan bebas. Untuk negara maju paling lambat tahun 2010 dan untuk negara berkembang paling lambat tahun 2020 harus sudah melaksanakan perdagangan bebas. Perdagangan bebas adalah suatu bentuk perdagangan antar negara yang tidak ada hambatan, terutama dalam bentuk tarif. Untuk mempercepat pelaksanaan perdagangan bebas, berbagai negara dan  kawasan di dunia saat ini sudah dan sedang membentuk daerah perdagangan bebas (free trade area), seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free Trade Area (NAFTA), ASEAN-Korea Free Trade Area dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, atau bahkan yang lebih maju dalam bentuk economic union, seperti Uni Eropa.

Dengan dibentuknya daerah perdagangan bebas ini, ataupun sesuai dengan kesepakatan WTO, hambatan-hambatan dalam tarif, terutama bea masuk,untuk berbagai jenis produk yang diperdagangkan saat ini sudah banyak mengalami penurunan. Akan tetapi hambatan-hambatan non-tarif saat ini mulai menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh, walaupun aturan SPS tidak boleh digunakan secara terselubung untuk tujuan membatasi perdagangan internasional, akan tetapi pada kenyataannya banyak aturan-aturan baru dikeluarkan oleh berbagai negara, dengan alasan adanya hama atau penyakit tertentu, untuk melarang atau membatasi impor atau masuknya produk pertanian tertentu. Saat ini ada kecenderungan bahwa ketentuan SPS yang menyatakan bahwa suatu negara dapat menolak ekspor hasil pertanian dari negara lain apabila karena alasan ilmiah, hasil pertanian tersebut merupakan media pembawa atau mengandung hama, penyakit atau organisme pengganggu yang dianggap berbahaya bagi negara tersebut, telah dimanipulasi dan digunakan sebagai hambatan untuk melarang atau membatasi masuknya produk pertanian ekspor dari suatu negara.

Dalam usaha peningkatan ekspor hasil pertanian Indonesia, disamping upaya peningkatan produksi, perhatian lebih banyak ditujukan pada peningkatan daya saing di pasar internasional, terutama kepada usaha peningkatan mutu dan nilai tambah hasil pertanian Indonesia. Sedangkan masalah  hambatan ekspor yang diakibatkan karena adanya aturan SPS di negara pengimpor sering terabaikan dari pengamatan. Dalam suatu perdagangan bebas, dimana tidak ada lagi hambatan dalam bentuk tarif, maka masalah aturan SPS akan merupakan salah satu hambatan non-tarif yang sangat penting di masa-masa yang akan datang. **  

Referensi :

---------- 2006. “Laporan Tim Ahli Badan Karantina Pertanian Dalam Rangka On Site Inspection di California, Amerika Serikat, 5-9 Nopember 2006.” Badan Karantina Pertanian, Jakarta.

---------- 2007. “Laporan Hasil Sidang Komite SPS-WTO ke 38 di Jenewa, Swiss, 26 Pebruari – 2 Maret 2007”. Badan Karantina Pertanian, Jakarta.

---- 2007. “Pembukaan Impor Sapi Ditunda”. Media Indonesia, 14 Juni 2007, hal. 13.

GATT Secretariat. 1994. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations. The Legal Text. GATT Secretariat, Geneve.



Comments