ATURAN SPS (SANITARY AND PHYTOSANITARY MEASURES) SEBAGAI
HAMBATAN NON-TARIF DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL PRODUK PERTANIAN
Oleh :
Wahono Diphayana
Untuk produk kakao yang diekspor Indonesia
ke AS, sampai saat ini masih mengalami automatic
detention, karena dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Food and Drug Administration (FDA).
Alasan dilakukannya tindakan ini terutama dikarenakan terdapatnya kotoran (filth), jamus, bakteri serta kontaminasi
serangga. Berbagai upaya telah dilakukan berbagai pihak terkait di Indonesia untuk
menyelesaikan masalah ini sejak awal tahun 1990, akan tetapi sampai saat ini
ternyata belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Menyangkut impor daging sapi, selama
ini Indonesia
melarang pemasukan daging sapi dari AS dikarenakan adanya kasus penyakit sapi
gila (mad cow) atau bovine spongiform encephalopathy (BSE) di negara tersebut. Akan tetapi, menurut
laporan organisasi kesehatan hewan dunia, Office
Internationale des Epizooties (OIE),
saat ini AS dianggap sudah dapat mengontrol penyakit ini sehingga
dimungkinkan negara yang masih bebas dari penyakit sapi gila, termasuk
Indonesia, untuk mengimpor daging sapi dari AS. Indonesia
berencana untuk mengirim tim ke AS untuk melakukan survei dan verifikasi
kesehatan sapi di sana .
Disamping dari AS, Indonesia
juga melarang pemasukan hewan, terutama sapi, serta produk dan bahan asal
hewan, dari negara-negara yang telah tertular penyakit sapi gila, seperti dari negara-negara anggota Uni Eropa.
Larangan pemasukan daging sapi dari
berbagai negara oleh Indonesia ,
bukan hanya dari negara yang tertular penyakit sapi gila tapi juga dari negara
yang tertular penyakit mulut dan kuku (foot
and mouth disease). Padahal sebagian besar negara di dunia penghasil ternak
telah tertular penyakit ini. Akibatnya, sampai saat ini, untuk memenuhi
kebutuhan daging dan ternak, khususnya sapi, di dalam negeri, Indonesia hanya
mengimpor dari negara-negara yang masih bebas penyakit mulut dan kuku dan sapi
gila, yaitu Australia dan New Zealand. Hal ini menyebabkan ketergantungan Indonesia yang
sangat besar kepada kedua negara tersebut dalam impor ternak dan daging sapi. Misalnya,
walaupun harga ternak dan daging sapi jauh lebih murah di India dibanding
Australia dan New Zealand, tetapi Indonesia tidak dapat mengimpor dari negara
tersebut karena adanya penyakit mulut dan kuku di India, yang ditakutkan bisa
terbawa masuk ke Indonesia yang telah bebas dari penyakit tersebut.
Bebarapa bulan yang lalu Indonesia
telah menghentikan impor poultry meat
meal (PMM) dari Spanyol, dan memusnahkan serta mereekspor puluhan container
produk makanan unggas ini, karena ternyata mengandung bahan asal tulang sapi
yang merupakan meat bone meal (MBM),
yang ditakutkan dapat membawa penyakit sapi gila. Indonesia secara resmi telah
meminta klarifikasi dari Uni Eropa sebagai wakil pemerintah Spanyol di World Trade Organization (WTO). Indonesia juga telah membatalkan
dan menghentikan Surat Perizinan untuk impor produk turunan daging atau PMM
dari Spanyol untuk kebutuhan pakan unggas di dalam negeri karena sering
disalahgunakan untuk importasi tepung tulang yang dilarang pemerintah. Berdasar
data OIE, Spanyol termasuk dalam daftar negara dengan peringkat kasus penyakit
sapi gila tertinggi bersama Inggris ,
Slovakia dan
Irlandia.
Sedangkan untuk apple maggot, lalat buah yang menyerang apple, AS belum berhasil
membangun area atau wilayah yang bebas hama
ini sesuai dengan ISPM nomor 26. Dari
data yang diperoleh ternyata di daerah program bebas hama
tersebut masih diketemukan hama
ini. Sampai saat ini Indonesia
masih bebas dari hama
ini.
Bila Mediterranean fruit fly dan apple maggot
masuk ke Indonesia, ditakutkan hama ini bukan hanya menghancurkan tanaman anggur
dan apple, akan tetapi menghancurkan tanaman buah-buahan lainnya, karena
berbagai jenis buah-buahan dan sayuran menjadi inang dari lalat buah ini.
Disamping itu bertambahnya jenis lalat buah baru di Indonesia akan menambah
panjang daftar penolakan dari negara lain terhadap ekspor buah-buahan dan
sayuran Indonesia dengan alasan adanya jenis lalat buah tertentu yang belum ada
di negara pengimpor.
Akibat adanya jenis lalat buah
tertentu, Indonesia
saat ini mengalami kesulitan untuk memasuki pasar buah-buahan dan sayuran di
berbagai negara. Berbagai jenis buah-buahan dan sayuran Indonesia ditolak untuk
memasuki Negara Australia, New Zealand, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, China
dan lain-lain akibat adanya jenis lalat buah yang belum ada di negara tersebut.
Terdapat beberapa jenis lalat buah Indonesia yang sangat ditakuti oleh
negara-negara tersebut karena dampak kerusakan yang ditimbulkannya, di
antaranya adalah Bratocera dorsalis
dan Bratocera cucurbitae.
Disamping itu, saat ini Indonesia juga mengalami berbagai masalah akibat
adanya hama atau penyakit tertentu di Indonesia .
Sebagai contoh, saat ini produk pakan ternak dari Indonesia ditolak oleh Brunei
Darusallam akibat adanya penyakit Avian
Influenza (AI) yang menyerang unggas di Indonesia dan negara tersebut masih
bebas dari AI. Padahal bahan baku
pakan ternak tersebut tidak ada yang menggunakan bahan asal unggas.
Australia sampai saat ini masih mengharuskan
seluruh kontainer asal Indonesia yang digunakan untuk mengangkut berbagai jenis
produk ekspor ke Australia, harus
difumigasi dahulu menggunakan methyl bromida dengan dosis yang sangat tinggi
126 gram per meter kubik untuk memusnahkan dan mencegah terbawanya keong alias Giant African Snail (GAS) yang menempel
di kontainer tersebut. Padahal dosis fumigasi untuk memberantas hama lainnya pada produk
pertanian hanya sekitar 32 gram per meter kubik. Alasannya, sampai saat ini Australia masih bebas dari hama
ini, dan sampai saat ini belum ada satu pelabuhanpun di Indonesia yang dianggap sudah bersih dari keong ini.
Keharusan untuk memfumigasi kontainer ini jelas menambah biaya ekspor berbagai jenis produk yang diekspor dari Indonesia
ke Australia .
Hambatan perdagangan untuk produk
pertanian berupa pelarangan atau pembatasan impor, akibat adanya hama atau penyakit di suatu negara, dalam
perdagangan internasional dikenal sebagai masalah sanitary and phytosanitary measures (SPS). Sanitary terkait dengan kesehatan manusia dan hewan sedangkan phytosanitary menyangkut kesehatan
tanaman atau tumbuhan.
Perjanjian SPS (Agreement
on Sanitary and Phytosanitary Measures) merupakan salah satu
perjanjian di antara berbagai perjanjian yang ditandatangani dalam rangka
Putaran Uruguay atau General Agreements
on Tariff and Trade (GATT) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April
1994, yang di antaranya juga menyepakati dibentuknya World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995.
Perjanjian SPS menentukan
prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi dalam mengatur
produk-produk impor-ekspor. Aturan SPS adalah semua aturan yang dibuat untuk
(1) melindungi kehidupan atau kesehatan hewan dan tumbuhan di dalam wilayah negara
anggota dari resiko yang timbul dari pemasukan dan penyebaran hama, penyakit,
organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit; (2) melindungi
kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan di dalam wilayah negara anggota
dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan aditif, kontaminan, toksin atau
organisme penyebab penyakit di dalam makanan, minuman atau pakan; (3) melindungi
kehidupan atau kesehatan manusia di dalam wilayah Negara anggota dari resiko
yang ditimbulkan oleh penyakit yang terbawa hewan, tanaman atau produk asal
hewan dan tanaman, atau yang ditimbulkan oleh pemasukan, perkembangan dan
penyebaran organisme pengganggu; dan (4) mencegah atau membatasi kerusakan
lainnya di dalam wilayah negara anggota yang disebabkan oleh pemasukan,
perkembangan dan penyebaran organisme pengganggu.
Aturan SPS meliputi undang-undang,
surat keputusan, persyaratan dan prosedur, metode pengujian, pemeriksaan,
prosedur sertifikasi dan pelepasan, perlakuan karantina, metode statistika,
prosedur sampling, metode penilaian resiko, dan persyaratan pengepakan dan
pelabelan yang langsung berkaitan dengan keamanan makanan.
Dalam perjanjian SPS diatur pula hak
dan kewajiban negara anggota, yaitu (1) negara anggota mempunyai wewenang untuk
membuat aturan SPS untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan
atau tanaman asalkan aturan tersebut tidak bertentangan dengan kesepakatan ini;
(2) negara anggota hanya boleh menerapkan aturan SPS yang benar-benar
diperlukan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tanaman
dengan berdasarkan dasar-dasar ilmiah; dan (3) negara anggota tidak boleh
menerapkan aturan SPS yang menimbulkan diskriminasi di antara sesama anggota, dan
aturan SPS tidak boleh digunakan secara terselubung untuk tujuan membatasi
perdagangan internasional.
Dengan ditandatanganinya GATT dan
dibentuknya WTO, negara-negara di dunia menyetujui dilaksanakannya perdagangan
bebas. Untuk negara maju paling lambat tahun 2010 dan untuk negara berkembang
paling lambat tahun 2020 harus sudah melaksanakan perdagangan bebas.
Perdagangan bebas adalah suatu bentuk perdagangan antar negara yang tidak ada
hambatan, terutama dalam bentuk tarif. Untuk mempercepat pelaksanaan
perdagangan bebas, berbagai negara dan
kawasan di dunia saat ini sudah dan sedang membentuk daerah perdagangan
bebas (free trade area), seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America
Free Trade Area (NAFTA), ASEAN-Korea Free Trade Area dan ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area,
atau bahkan yang lebih maju dalam bentuk economic
union, seperti Uni Eropa.
Dengan dibentuknya daerah perdagangan
bebas ini, ataupun sesuai dengan kesepakatan WTO, hambatan-hambatan dalam
tarif, terutama bea masuk,untuk berbagai jenis produk yang diperdagangkan saat
ini sudah banyak mengalami penurunan. Akan tetapi hambatan-hambatan non-tarif
saat ini mulai menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional. Sebagai
contoh, walaupun aturan SPS tidak boleh digunakan secara terselubung untuk
tujuan membatasi perdagangan internasional, akan tetapi pada kenyataannya
banyak aturan-aturan baru dikeluarkan oleh berbagai negara, dengan alasan
adanya hama atau penyakit tertentu, untuk melarang atau membatasi impor atau
masuknya produk pertanian tertentu. Saat ini ada kecenderungan bahwa ketentuan
SPS yang menyatakan bahwa suatu negara dapat menolak ekspor hasil pertanian
dari negara lain apabila karena alasan ilmiah, hasil pertanian tersebut
merupakan media pembawa atau mengandung hama, penyakit atau organisme
pengganggu yang dianggap berbahaya bagi negara tersebut, telah dimanipulasi dan
digunakan sebagai hambatan untuk melarang atau membatasi masuknya produk
pertanian ekspor dari suatu negara.
Dalam usaha peningkatan ekspor hasil
pertanian Indonesia, disamping upaya peningkatan produksi, perhatian lebih
banyak ditujukan pada peningkatan daya saing di pasar internasional, terutama
kepada usaha peningkatan mutu dan nilai tambah hasil pertanian Indonesia.
Sedangkan masalah hambatan ekspor yang
diakibatkan karena adanya aturan SPS di negara pengimpor sering terabaikan dari
pengamatan. Dalam suatu perdagangan bebas, dimana tidak ada lagi hambatan dalam
bentuk tarif, maka masalah aturan SPS akan merupakan salah satu hambatan
non-tarif yang sangat penting di masa-masa yang akan datang. **
Referensi :
---------- 2006. “Laporan Tim Ahli Badan Karantina Pertanian Dalam Rangka On Site
Inspection di California, Amerika Serikat, 5-9 Nopember 2006.” Badan
Karantina Pertanian, Jakarta .
---------- 2007. “Laporan Hasil Sidang Komite SPS-WTO ke 38 di Jenewa, Swiss, 26
Pebruari – 2 Maret 2007”. Badan Karantina Pertanian, Jakarta .
---- 2007. “Pembukaan Impor Sapi Ditunda”. Media Indonesia, 14 Juni 2007, hal.
13.
GATT Secretariat. 1994. The Results of the Uruguay Round
of Multilateral Trade Negotiations. The Legal Text. GATT Secretariat,
Geneve.
Comments
Post a Comment