Bisnis Internasional Bab XII : Etika Bisnis Internasional
BAB
XII
ETIKA
BISNIS INTERNASIONAL
1.
Pengertian Etika
Cukup banyak pengertian atau definisi mengenai etika. Secara
etimologis, kata “etika” berasal dari kata Yunani “ethos” (jamak : ta etha),
yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dari pengertian ini, etika
berkaitan dengan kebiasaan dan tata cara hidup yang baik yang dianut suatu
masyarakat dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan
hidup yang baik ini kemudian dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma
yang disebarluaskan, dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam
masyarakat. Etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia
harus hidup, dan bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk,
orientasi, arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia.
Sebagai suatu ilmu, ilmu etika merupakan suatu ilmu yang mempelajari
standard moral dari seseorang atau suatu masyarakat (Velasquez, 2006). Standar
moral merupakan norma-norma mengenai tindakan-tindakan yang dipercaya secara moral
benar dan salah, serta nilai-nilai yang diberikan terhadap suatu obyek yang
dipercaya secara moral adalah baik atau buruk.
Etika sebagai suatu ilmu dapat dibagi dua, yaitu kajian
yang bersifat normatif (normative study) dan kajian yang
bersifat deskriptif (descriptive study).
Kajian yang bersifat normatif merupakan investigasi yang mencoba untuk
memperoleh kesimpulan mengenai apakah sesuatu baik atau buruk dan apakah suatu
tindakan benar atau salah. Misalnya, terkait dengan pertanyaan : “Apakah penyuapan
di dunia bisnis, baik atau buruk?”. Untuk menjawab itu, ahli etika akan mencari
jawabnya berdasarkan kajian normatif dengan menggunakan berbagai teori yang ada,
dan menyimpulkan apakah penyuapan di dunia bisnis baik atau buruk. Sedangkan
kajian yang bersifat deskriptif merupakan investigasi yang tidak mencoba untuk
mencapai suatu kesimpulan mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Hal ini
misalnya dilakukan oleh ahli anthropologi yang mempelajari standar moral dari
suatu suku bangsa. Mereka akan mencoba
untuk menjelaskan secara akurat mengenai standar moral dari suku bangsa
tersebut dengan menggunakan berbagai teori, akan tetapi bukan tujuan mereka
untuk memberikan penilaian apakah moral dari suku bangsa tersebut baik atau
buruk.
2.
Teori Etika
Terdapat tiga teori mengenai etika, yaitu teori
deontologi, teori teleologi dan etika
keutamaan.
2.1.
Teori Deontologi
Istilah “deontologi” berasal dari kata Yunani “deon” yang
berarti kewajiban, dan “logos” yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini,
cara bertindak dalam suatu situasi
tertentu adalah melakukan apa yang menjadi kewajiban sebagaimana
terungkap dalam norma dan nilai-nilai moral yang ada. Suatu tindakan dinilai
baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan
kewajiban. Suatu tindakan dianggap baik karena tindakan tersebut memang baik
pada dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan.
Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk secara moral karena tindakan tersebut
memang buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita
melakukannya.
2.2.
Teori Teleologi
Istilah “teleologi” berasal dari kata Yunani “telos” yang
berarti tujuan, dan “logos” yang berarti ilmu atau teori. Etika teleologi
menjawab pertanyaan bagaimana bertindak dalam situasi tertentu dengan melihat tujuan atau akibat
dari suatu tindakan, atau dengan kata lain
menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat dari
tindakan tersebut. Dalam suatu situasi tertentu, tindakan yang harus dipilih
adalah tindakan yang membawa akibat yang
baik, karena suatu tindakan dinilai baik apabila bertujuan baik dan
mendatangkan akibat baik. Etika teleologi lebih bersifat situasional dan
subyektif, dimana tindakan seseorang tergantung dari penilaiannya terhadap
akibat dari tindakan tersebut. Apabila dianggap baik, suatu tindakan yang
jelas-jelas bertentangan dengan norma atau nilai moral yang berlaku dapat
dilakukan.
2.3.
Etika Keutamaan (Virtue Ethics)
Berbeda dengan kedua teori etika yang lain, teori ini
mendasarkan penilaian moral pada pengembangan karakter moral pada diri setiap
orang. Nilai moral muncul bukan dalam bentuk aturan berupa larangan atau
perintah, akan tetapi dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh
tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Menurut teori ini, cara bertindak secara
moral di dalam situasi konkirt yang dilematis adalah meneladani sikap dan
perilaku moral tokoh-tokoh yang kita kenal, baik dalam masyarakat, sejarah atau
cerita yang kita ketahui, ketika mereka menghadapi situasi serupa.
3.
Pengertian Etika Bisnis
Cukup banyak definisi mengenai etika bisnis. Secara umum
etika bisnis dapat didefinisikan sebagai suatu standar atau prinsip moral yang
diterapkan di dalam lembaga atau organisasi bisnis dan perilaku yang dapat
diterima (benar) atau tidak dapat diterima (salah) dari orang-orang yang
bergerak di dunia bisnis. Sedangkan, etika bisnis internasional terkait dengan
standar moral yang diterapkan di dalam kegiatan bisnis internasional.
Sebagai suatu ilmu, etika bisnis merupakan ilmu yang
mempelajari secara khusus standar moral tersebut dan melakukan analisis dan
evaluasi dari keputusan-keputusan bisnis didasarkan pada konsep dan penilaian
moral.
4.
Permasalahan Etika Bisnis Dalam Bisnis Internasional
Pertanyaan terkait moral mengenai apakah suatu tindakan
baik atau buruk, benar atau salah, seringkali menjadi dilema di dalam kegiatan
bisnis internasional. Penilaian terhadap
suatu tindakan terkait bisnis yang dianggap baik atau buruk dan benar atau salah seringkali berbeda di antara satu
negara dengan negara lainnya. Bahkan di dalam suatu negarapun penilaian ini
sering berbeda dikarenakan perbedaan di dalam budaya dari masyarakatnya. Di
samping faktor budaya, perbedaan pandangan ini juga sering dipengaruhi oleh sistem
perekonomian dan sistem pemerintahan suatu negara, disamping kepercayaan dan agama
yang ada di masyarakat.
Permasalahan etika bisnis dapat muncul di berbagai aspek
bisnis internasional. Dalam bidang produksi, misalnya muncul permasalahan etika
terkait perusahaan dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan
sosial, penggunaan binatang untuk uji coba obat-obatan baru, cara transportasi
ternak, dan diketemukannya teknologi baru seperti produk transgenik atau genetically modified product dan cloning. Dalam bidang pemasaran,
misalnya muncul permasalahan etika terkait pelaksanaan promosi (seperti adanya
unsur sex dalam advertising), pemasaran langsung di sekolah, dan advertising
yang menyesatkan dengan tidak memberikan informasi produk yang sebenarnya.
Dalam bidang keuangan, misalnya terkait insider
trading, pembayaran yang sangat besar terhadap CEO perusahaan sebagai excutive compensation, dan pembuatan
laporan keuangan yang tidak benar. Dalam bidang HAKI (hak atas kekayaan
intelektual), misalnya terkait pembajakan, pemalsuan merk, dan business intelligence. Dalam tenaga
kerja, misalnya terkait pemberian upah buruh yang sangat rendah untuk
memproduksi barang yang relatif mahal harganya, serta diskriminasi gender, suku
dan agama dalam pekerjaan.
Dengan perkembangan yang sangat pesat di bidang
teknologi, terutama teknologi informasi, komunikasi dan produksi, maka di
masa-masa yang akan datang dapat muncul permasalahan baru terkait etika dengan
munculnya teknik, metode atau cara baru di bidang bisnis. Misalnya dalam bidang
proses produksi, pemasaran dan keuangan.
5. Prinsip
Etika Bisnis
Dewasa ini, perusahaan-perusahaan bisnis internasional,
terutama yang besar, pada umumnya sudah memiliki pedoman etika bisnis di dalam
perusahaannya. Kode etik internasional pertama di bidang bisnis adalah ”The Caux Round-Table Principles for Business”
yang disepakati pada tahun 1994 oleh
eksekutif puncak dari berbagai perusahaan multinasional dari Jepang,
Eropa dan Amerika Serikat (seperti Matsuhita, Philips, Ciba-Geigy, Cummins, 3M
dan Honeywell). Prinsip Caux berakar pada dua nilai ideal dasar dalam etika,
yaitu konsep Jepang “kyosei” yang
berarti hidup dan bekerja bersama-sama demi kesejahteraan umum, dan konsep
barat “human dignity” (martabat
manusia) yang mengacu pada kesucian atau bernilainya setiap pribadi sebagai
tujuan, tidak semata-mata sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan orang
lain atau bahkan untuk melaksanakan kehendak mayoritas.
Kode etik ini terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu
mukadimah, prinsip-prinsip umum, dan prinsip-prinsip stakeholder.
Prinsip-prinsip umum dari ”The Caux
Round-Table Principles for Business” adalah sebagai berikut (dikutip dari Nugroho,
2001)
Prinsip
1. Tanggung Jawab Bisnis Dari “Shareholders” ke “Stakeholders”
Nilai organisasi bisnis bagi masyarakat ialah kekayaan
dan lapangan kerja yang diciptakannya serta produk dan jasa yang dipasarkan
kepada konsumen dengan harga wajar yang sebanding dengan mutu. Untuk mampu
menciptakan nilai itu, sebuah organisasi bisnis haruslah mempertahankan
kesehatan dan kelangsungan hidupnya, namun kelangsungan hidup bukanlah tujuan
yang mencukupi.
Bisnis memainkan peranan untuk meningkatkan kehidupan
semua pelanggan, karyawan dan pemegang saham dengan membagikan kekayaan yang
diciptakannya. Para pemasok dan pesaingpun berharap bahwa organisasi-organisasi
bisnis menghormati kewajiban-kewajiban mereka dengan semangat kejujuran dan
keadilan. Sebagai warga yang bertanggung jawab dari komunitas lokal, nasional,
regional dan global dimana mereka beroperasi, organisasi-organisasi bisnis ikut
serta dalam menentukan masa depan komunitas-komunitas itu.
Prinsip
2. Dampak Ekonomis dan Sosial dari Bisnis : Menuju Inovasi, Keadilan dan
Komunitas Dunia
Organisasi-organisasi bisnis yang didirikan di luar
negeri untuk membangun, memproduksi atau menjual juga harus memberi sumbangan
pada pembangunan sosial negara-negara itu dengan menciptakan lapangan kerja
yang produktif dan membantu meningkatkan daya beli warga negara setempat.
Organisasi-organisasi bisnis harus juga menyumbang pada hak-hak azasi manusia,
pendidikan, kesejahteraan dan vitalisasi negara-negara tempat mereka
beroperasi.
Organisasi-organisasi bisnis harus menyumbang pada
pembangunan ekonomi dan sosial tidak hanya di negara-negara tempat mereka
beroperasi, tetapi juga bagi komunitas dunia pada umumnya, melalui penggunaan
sumber-sumber secara efektif dan bijaksana, kompetisi yang bebas dan adil,
serta penekanan pada inovasi di bidang teknologi, metode-metode produksi,
pemasaran dan komunikasi.
Prinsip
3. Perilaku Bisnis : Dari Hukum Tersurat ke Semangat Saling Percaya
Dengan tetap mengakui keabsahan rahasia-rahasia dagang,
organisasi-organisasi bisnis haruslah menyadari bahwa kelurusan hati,
ketulusan, kejujuran, sikap memegang teguh janji, dan transparansi, bermanfaat
tidak hanya bagi kredibilitas dan stabilitas bisnis sendiri, tetapi juga bagi
kelancaran dan efisiensi transaksi-transaksi bisnis, khususnya pada tingkat
internasional.
Prinsip
4. Sikap Menghormati Aturan
Untuk menghindari konflik-konflik dagang dan untuk
menggalakkan perdagangan yang lebih bebas, kondisi-kondisi adil dalam
persaingan, perlakuan yang seimbang dan adil bagi seluruh partisipan,
organisasi-organisasi bisnis wajib menghormati aturan-aturan internasional dan
domestik. Disamping itu, bisnispun harus menyadari bahwa perilaku-perilaku
tertentu, biarpun tidak melanggar aturan, tetap saja dapat menimbulkan
akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Prinsip
5. Dukungan Bagi Perdagangan Multilateral
Organisasi-organisasi bisnis wajib mendukung sistem
perdagangan multilateral dari GATT/WTO serta kesepakatan-kesepakatan
internasional serupa. Mereka wajib bekerja sama dalam upaya-upaya untuk
memajukan liberalisasi perdagangan yang progresif dan sesuai dengan akal sehat
dan untuk mengendurkan ketentuan-ketentuian domestik yang secara tidak masuk
akal menghambat perniagaan global, dengan tetap menghormati tujuan-tujuan
kebijaksanaan nasional.
Prinsip
6. Sikap Hormat Bagi Lingkungan Alam
Bisnis wajib melindungi dan, dimana mungkin, meningkatkan
lingkungan alam, mendukung pembangunan yang berkelanjutan, dan mencegah
terjadinya pemborosan sumber-sumber daya alam.
Prinsip
7. Menghindari Operasi-Operasi Yang Tidak Etis
Bisnis wajib untuk tidak berpartisipasi dalam atau
menutup mata terhadap penyuapan, pencucian uang (money laundering), atau praktek-praktek korup lainnya, bahkan
bisnis wajib untuk menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk membasmi
praktek-praktek itu. Bisnis wajib untuk tidak memperdagangkan senjata atau
barang-barang lain yang diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan teroris,
perdagangan obat bius, atau kejahatan terorganisasi lainnya.
6.
Kode Etik Perusahaan
Di negara yang kegiatan bisnisnya sudah maju, seperti di
Amerika Serikat dan Eropa, sebagian besar perusahaan besar sudah mengembangkan
kode etik perusahaannya masing-masing. Kode etik itu antara lain menjelaskan
harapan perusahaan agar karyawan mampu mengenali
masalah-masalah etis terkait kebijakan perusahaan, dan harapan menyangkut
perilaku karyawan dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh, di dalam
pedoman Etika Bisnis dari perusahaan Ericsson, dimuat tata tertib
mengenai tanggung jawab individu, serta tanggung jawab terhadap karyawan,
pelanggan, pemasok, pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya,
termasuk :
- mematuhi undang-undang, tata tertib dan peraturan;
- melindungi informasi rahasia perusahaan dan informasi para pelanggan serta vendor perusahaan;
- perlindungan dan penggunaan aset perusahaan yang layak;
- memperlakukan karyawan dengan hormat dan melindungi hak azasi manusia;
- menangani konflik kepentingan;
- mendukung pengungkapan secara lengkap, adil, akurat, tepat waktu dan dapat dipahami dalam laporan keuangan dan komunikasi publik lainnya;
- melindungi lingkungan; dan
- mendukung pelaporan tentang setiap perilaku yang melanggar hukum atau yang tidak etis.
7. Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Responsibility = CSR)
7.1.
Pengertian CSR
Salah satu konsep terkait dengan etika bisnis adalah Corporate Social Responsibility (CSR) atau
tanggung jawab sosial perusahaan. CSR merupakan suatu konsep mengenai tanggung
jawab perusahaan untuk turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
lingkungan perusahaan, termasuk turut menjaga dan meningkatkan kondisi
lingkungan hidup. World Business Council
for Sustainable Development mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen
berkelanjutan dari dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi
terhadap pengembangan ekonomi masyarakat setempat maupun masyarakat luas,
bersamaan dengan peningkatan taraf hidup pekerjanya beserta seluruh
keluarganya.
Pertimbangan dasar konsep CSR adalah kenyataan bahwa
suatu perusahaan banyak memperoleh manfaat dari masyarakat, khususnya
masyarakat di sekitar perusahaan, termasuk masyarakat sebagai konsumen yang menyebabkan perusahaan memperoleh laba. Oleh
karena itu, merupakan kewajiban perusahaan untuk turut membantu mensejahterakan
masyarakat. Apabila kondisi masyarakat tidak sejahtera, hal ini akan memberikan
dampak negatif terhadap perusahaan, seperti masyarakat tidak mampu membeli
produk yang dihasilkan perusahaan, terjadinya pelanggaran hak cipta dengan
pembajakan atau peniruan produk dan lain-lain. Perusahaan juga harus
memperhatikan kondisi lingkungan masyarakat, seperti jangan sampai proses
produksi menghasilkan limbah sebagai hasil sampingan yang merugikan atau
menurunkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Di dalam menjalankan bisnis, pimpinan dan karyawan
perusahaan harus mampu menjaga dan memelihara kesehatan dan keselamatan
masyarakat serta turut meningkatkan kesejahteran mereka, dan memelihara kondisi
dan keamanan lingkungan. Tujuan itu diantaranya dapat dicapai dengan cara turut
menyediakan fasilitas dan memajukan pendidikan masyarakat, menyediakan
fasilitas dan memajukan kesehatan masyarakat, meningkatkan pelayanan terhadap
masyarakat, memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, membina
lingkungan dan konservasi sumber daya alam, serta melakukan praktek bisnis yang
beretika.
Jadi secara umum, penerapan tanggung jawab sosial suatu
perusahaan ditujukan kepada :
(a)
stakeholders (pemangku
kepentingan) perusahaan, khususnya pemilik modal, karyawan, dan konsumen;
(b)
lingkungan hidup di sekitar kegiatan operasi perusahaan;
dan
(c)
kesejahteraan sosial umum.
7.2.
Permasalahan Penerapan CSR Dalam Bisnis Internasional
Permasalahan dalam penerapan CSR bagi suatu perusahaan
yang bergerak dalam bisnis internasional muncul dari luar perusahaan dan dari
dalam perusahaan itu sendiri. Dari luar perusahaan, permasalahan yang muncul
terutama diakibatkan oleh perbedaan kondisi di antara negara-negara dimana
perusahaan melakukan kegiatannya. Kondisi ini meliputi antara lain bagaimana
peraturan terkait CSR dan lingkungan
yang ada di negara tersebut, peran pemerintah dan kondisi kesejahteraan
masyarakat setempat. Hal ini seringkali menimbulkan pendekatan yang berbeda
antara satu negara dengan negara lain dalam penerapan SCR.
Dari dalam perusahaan, permasalahan muncul terutama
diakibatkan dari sikap pandang atau pendekatan perusahaan terhadap CSR. Secara
umum, terdapat tiga sikap pandang perusahaan, yaitu sikap pandang menghalangi,
bertahan, dan proaktif. Perusahaan yang mengambil sikap pandang menghalangi,
biasanya melakukan sesedikit mungkin upaya untuk mengatasi masalah sosial atau
lingkungan. Perusahaan yang mengambil sikap pandang bertahan akan melakukan
segala sesuatu tidak lebih dari yang dipersyaratkan secara hukum. Sedangkan
perusahaan yang mengambil sikap pandang proaktif secara sungguh-sungguh
mendukung CSR dan secara proaktif membantu lingkungan dan masyarakat di sekitar
perusahaan. Permasalahan mungkin saja timbul apabila perusahaan menerapkan cara pandang pertama dan kedua.
Permasalahan lainnya yang dapat muncul dalam penerapan
CSR adalah terkait dengan biaya yang harus disediakan perusahaan untuk melaksanakan
program ini, yang seringkali menjadi sangat besar. Misalnya biaya sosial yang
harus dikeluarkan perusahaan dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan sebagai akibat dari kegiatan
operasional perusahaan.
Comments
Post a Comment