Hambatan Non-Tarif Dalam Perdagangan Internasional

HAMBATAN NON-TARIF DALAM  PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Oleh :
Wahono Diphayana


Abstract

The basic objective of GATT/WTO, which lays down multilateral rule for trade in goods, is to create a free trade or a liberal and open trading system under which business enterprises from its member countries can trade with one another without any tariff barrier.  Even though GATT/WTO stands for free trade, many member countries are recognized to use various non-tariff barriers to protect domestic production against foreign competition. In this paper, various forms of these non-tariff barriers are reviewed. 

Pendahuluan

Sesuai dengan kesepakatan WTO (World Trade Organization) yang tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang ditandatangani di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, negara anggota WTO menyetujui dilaksanakannya perdagangan bebas untuk negara maju dimulai pada tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020. Perdagangan bebas merupakan bentuk perdagangan antar negara tanpa adanya hambatan dalam bentuk tarif. Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara. Pada dasarnya tarif dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu bea ekspor, bea transito, dan bea impor. Bea ekspor (export duties) adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju negara lain. Bea transito (transit duties) adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang yang melalui wilayah suatu negara dengan tujuan negara lain. Sedangkan bea impor (import duties) adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang yang masuk dalam wilayah pabean (custom area) suatu negara yang merupakan tujuan akhir

Walaupun dewasa ini negara-negara di dunia yang menjadi anggota WTO mulai menurunkan hambatan dalam bentuk tarif secara bertahap, akan tetapi di luar tarif, berbagai hambatan non-tarif masih sering muncul menjadi kendala perdagangan antar negara. Dalam tulisan ini berbagai jenis hambatan non-tarif tersebut akan diuraikan satu persatu.

Kuota (Quota)

Kuota adalah pembatasan terhadap jumlah fisik barang yang masuk (kuota impor) dan keluar (kuota ekspor) ke dan dari suatu negara. Kuota impor dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu absolute quota, negotiated quota, tariff quota, dan mixing quota. Absolute atau Unilateral Quota adalah kuota yang besar kecilnya ditentukan sendiri oleh suatu negara tanpa persetujuan negara lain. Negotiated atau Bilateral Quota adalah kuota yang besar kecilnya ditentukan berdasarkan perjanjian antara dua negara atau lebih. Tariff Quota adalah gabungan antara tarif dengan kuota. Misalnya untuk sejumlah tertentu impor barang diizinkan dengan tarif tertentu, tambahan impor masih diizinkan tetapi dikenakan tarif yang lebih tinggi. Sedangkan mixing Quota menetapkan bahan mentah yang diimpor dalam proporsi tertentu dibatasi penggunaannya dalam produksi barang akhir.

Subsidi

Subsidi adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada pihak produsen di dalam negeri. Bentuk bantuan bisa berupa pemberian bahan baku, penetapan harga bahan baku yang lebih rendah dari harga pasar, dan lain-lain.

Dengan adanya subsidi, produsen dapat menjual barang yang diproduksinya dengan harga yang lebih rendah dari yang seharusnya (tanpa subsidi), sehingga subsidi dapat menimbulkan distorsi di dalam pasar. Oleh karena itu banyak negara yang melakukan berbagai bentuk proteksi terhadap produk impor yang disubsidi. Sedangkan subsidi ekspor merupakan instrumen subsidi yang diberikan pada barang ekspor. Subsidi ekspor dewasa ini  banyak diterapkan pada produk-produk pertanian negara maju. Mengamankan daya kompetisi produk-produk pertanian mereka dalam menghadapi persaingan ”tidak adil” dengan produk pertanian negara lain yang juga disubsidi merupakan argume klasik yang mengemuka.

Pajak Ekspor

Pajak ekspor adalah instrumen pajak yang dikenakan terhadap barang ekspor. Pajak ekspor umumnya dikenakan untuk melindungi konsumen atau produsen pengguna di dalam negeri. Di tengah-tengah harga minyak kelapa sawit dunia yang membumbung tinggi, Indonesia, misalnya, mengenakan pajak ekspor terhadap ekspor minyak kelapa sawit untuk melindungi konsumen dalam negeri. Pajak ekspor pada dasarnya hampir sama dengan bea ekspor.

Anti Dumping

Anti dumping adalah tindakan yang dilakukan oleh suatu negara, misalnya pengenaan bea masuk atau pembatasan, terhadap barang yang diimpor dari negara lain yang dianggap melakukan dumping.

Dumping adalah diskriminasi harga secara internasional yang dilakukan dengan menjual suatu produk di luar negeri dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga di dalam negeri. Dewasa ini, dumping dianggap sebagai praktek perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practice). Negara yang dirugikan dapat melakukan tindakan anti dumping (counterveiling dumping)

Keamanan Pangan (Food Safety)

Produk pangan yang dikonsumsi masyarakat dan diperdagangkan harus bebas dari zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Zat-zat ini bisa berasal dari cemaran perstisida atau zat-zat lain yang apabila dikonsumsi manusia bisa menyebabkan penyakit, misalnya penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan atau zat pewarna pakaian yang digunakan untuk pewarna makanan. Jepang dan Uni Eropa menerapkan kebijakan yang mengharuskan udang yang diimpor dari negara Asia bebas dari kandungan antibiotic chlorampenicol, oxytetracyclin, chlortetracycline, nitrofuransi, dan furazolidon. Secara internasional, standar kesehatan ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission, sebuah lembaga di bawah WHO. Walaupun demikian, setiap negara dimungkinkan membuat standar sendiri, asalkan memiliki dasar alasan ilmiah.

Peraturan Karantina

Peraturan karantina merupakan upaya untuk mencegah masuk dan tersebarnya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) serta hama dan penyakit manusia atau hewan baru dari luar negeri ke dalam negeri, dimana kalau sampai masuk (melalui barang-barang yang diperdagangkan) akan dapat merusak kesehatan manusia atau mengancurkan tanaman pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. Di dunia kita mengenal adanya karantina manusia, karantina hewan, karantina ikan dan karantina tumbuhan. Secara internasional, ketentuan karantina didasarkan pada ketentuan WHO (World Health Organization) dan  Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dari WTO. Untuk karantina tumbuhan standar internasional yang digunakan didasarkan pada International Standard for Phytosanitary Measures (ISPM) yang diterbitkan oleh International Plant Protection Convention (IPPC). Untuk karantina hewan dan ikan, standar internasional yang digunakan didasarkan pada standar yang diterbitkan oleh World Organization of Animal Health (WOAH) atau Organization Internationale de Ephyzootic (OIE).

Sebagai contoh hambatan karantina dalam perdagtangan internasional adalah sebagai berikut. Ternak dan daging yang berasal dari negara yang telah tertular penyakit mulut dan kuku (PMK atau foot and mouth disease) dilarang dimasukkan ke Indonesia. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih bebas dari penyakit ini, di samping Australia dan New Zealand. Ekspor produk buah-buahan dan hortikultura dari Indonesia sulit memasuki pasar berbagai negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa, dikarenakan di Indonesia terdapat lalat buah Bratocera dorsalis dan Bratocera cucurbitae, yang belum terdapat di negara-negara tersebut. Berbagai produk susu dan ternak dari negara-negara Eropa dilarang diimpor ker Indonesia dikarenakan di sana telah terdapat penyakit sapi gila (mad cow).  Sebagai penerapan dari ISPM (International Standard for Phytosanitary Measures) nomor 15, maka produk kemasan kayu untuk produk ekspor-impor harus bebas dari hama serangga, dan harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk membebaskannya, dan dibuktikan dengan tanda khusus (marking).  

Ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered   Species of Wild Flora and Fauna)

CITES merupakan perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies langka, baik flora maupun fauna. Spesies langka ini dikategorikan menjadi tiga sebagaimana tercantum dalam tiga lampiran CITES, yaitu Appendix I tentang spesies yang secara mutlak tidak boleh diperdagangkan, Appendix II yang mensyaratkan pemberian izin ekspor untuk perdagangan beberapa spesies langka, dan Appendix III yang mempersyaratkan pemberian izin ekspor dan serifikat negara asal spesies (certificate of origin) untuk spesies-spesies tertentu.

Masalah Mutu (Quality)

Produk yang diperdagangkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan secara internasional atau secara nasional. Ketentuan ini secara internasional didasarkan pada Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT) dari WTO. Seringkali suatu produk yang tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh negara importir akan ditolak pemasukannya.

Masalah Selera Konsumen

Masalah selera konsumen di suatu negara secara tidak langsung seringkali menjadi hambatan dalam perdagangan internasional. Selera konsumen menyangkut berbagai hal termasuk masalah rasa, warna, nama dan bentuk produk, yang seringkali dipengaruhi oleh faktor budaya, agama, kepercayaan dan etika masyarakat yang mengkonsumsi produk.  

Masalah Politik

Masalah politik seringkali menjadi hambatan di dalam perdagangan internasional, termasuk di dalamnya hubungan antar negara yang kurang baik atau bermusuhan, embargo yang diterapkan oleh suatu negara, kelompok negara atau PBB terhadap sebuah negara atau kelompok negara lain.

Masalah Moral dan Agama

Masalah moral dan agama seringkali menjadi hambatan dalam perdagangan internasional. Sebagai contoh adalah keharusan produk yang diperdagangkan disertai label halal, dan kesulitan waralaba seperti McDonald, yang menggunakan daging sapi untuk produknya, untuk berkembang di India karena kepercayaan masyarakat setempat terhadap sapi sebagai hewan yang disucikan.

Peraturan Pertahanan dan Keamanan

Hambatan perdagangan terkait masalah pertahanan atau keamanan antara lain dalam bentuk pembatasan larangan peralatan tempur oleh suatu negara ke negara yang lain,  pelarangan penjualan senjata api kepada masyarakat umum, dan penerapan Bioterorism Act yang dikeluarkan  tanggal 12 Juni 2002 oleh Amerika Serikat setelah terjadinya tragedi 11 September.


Masalah Lingkungan

Masalah lingkungan dalam perdagangan internasional mulai muncul setelah meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap pentingnya lingkungan hidup, dengan munculnya green consumers atau green society. Hambatan ini di antaranya menyangkut masalah ecolabelling, cara pengelolaan hutan dan ketentuan sertifikasi produk kehutanan.

Ecolabelling adalah pemberian tanda pada suatu barang yang diperdagangkan, yang menerangkan bahwa barang tersebut diproduksi dengan tidak merusak lingkungan. Barang yang tidak mempunyai label akan ditolak oleh negara konsumen. Gagasan tentang ecolabelling kini berkembang, mencakup bidang yang luas, yaitu mulai dari penyediaan bahan baku sampai pada pembuangan barang bekas.

Menyangkut  masalah lingkungan, terdapat juga hambatan yang yang ditimbulkan oleh kebijakan negara terkait pengelolaan hutan berkelanjutan dengan tujuan perlindungan ekosistem hutan. Contohnya adalah metode pengangkutan, pengolahan dan konsumsi produk kehutanan, energi yang digunakan dalam proses pengolahan, serta masalah pengelolaan polusi dan pembuangan limbah produksi. Kebijakan yang seringkali merupakan larangan ini bukan hanya dikeluarkan oleh suatu negara, tetapi juga oleh negara bagian ataui pemerintahan lokal. Kebijakan ini dapat mempengaruhi perdagangan produk kehutanan, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia. Contoh lain, Uni Eropa melarang impor kayu beserta produk-produknya, termasuk kayu lapis, dari Indonesia, karena Uni Eropa menganggap bahwa hutan di Indonesia sudah hampir hilang akibat pengelolaannya yang tidak memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Disamping itu, ketentuan sertifikasi produk kehutanan seringkali juga menjadi hambatan dalam perdagangan. Dengan sertifikat produk kehutanan, setiap produk memiliki status yang menentukan negara asal produk tersebut. Sertifikat hanya diberikan untuk produk kehutanan yang sah dan dikelola secara secara berkelanjutan. Tujuannya, pembeli hanya akan membeli produk yang memiliki sertifikat tersebut, dan produk kehutanan yang tidak memiliki sertifikat patut dianggap sebagai hasil pembalakan liar (illegal logging).

VER (Voluntary Export Restaint)

VER merupakan instrumen pembatasan yang dikenakan pemerintah negara eksportir terhadap jumlah (kuantitas) barang yang diekspor dalam jangka waktu tertentu. VER muncul sebagai reaksi setelah negara importir, umumnya yang mempunyai pasar yang besar dan strategis, berupaya melindungi diri dari serbuan barang impor dari negara eksportir tertentu. Guna menghindari pemberlakuan kebijakan impor lanjutan yang lebih ketat, negara eksportir dimaksud ”mengambil hati” negara importir dengan mengenakan VER pada ekspor mereka. Salah satu contoh yang terkenal adalah pemberlakuan VER oleh pemerintah Jepang di awal tahun 1980-an terhadap ekspor mobil Jepang ke pasar Amerika Serikat. Langkah ini diambil untuk mengurangi tekanan lobby perusahaan-perusahaan mobil besar AS yang menginginkan pengenaan bea masuk impor yang lebih tinggi terhadap mobil Jepang.

OMA (Orderly Marketing Agreement)

OMA adalah  pembatasan pemasaran produk tertentu atas permintaan negara importir.

Government Procurement Policy

Ini merupakan kebijakan yang mensyaratkan lembaga-lembaga pemerintah untuk membeli barang atau jasa dari perusahaan dalam negeri. Kebijakan yang umumnya dinyatakan secara resmi sebagai upaya untuk mendorong kinerja perusahaan di dalam negeri, pada prakteknya dapat membatasi impor.

Prosedur Birokrasi (Red Tape Barriers)

Prosedur yang pada awalnya ditempuh demi penyelenggaraan tertib administrasi negara bisa menjadi proses yang berbelit, tidak transparan, dan rentan terhadap praktek pungutan tidak resmi, yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ekspor dan impor. Berbagai hambatan birokrasi dapat membuat alokasi sumber daya ekonomi menjadi kurang efisien, membuat tingginya biaya produksi dan distribusi barang yang akhirnya akan menimbulkan high cost economy.  Korupsi dapat menimbulkan berkurangnya market integrity dan melemahnya penerapan good governance, baik pada sektor swasta maupun publik.

Generalized System of Preference (GSP)

GSP atau sistem preferensi umum merupakan suatu bentuk bantuan fasilitas dari negara-negara industri maju kepada negara-negara sedang berkembang. Bentuk fasilitas tersebut berupa penurunan atau pembebasan bea masuk atas produk-produk tertentu yang dihasilkan dan diekspor oleh negara-negara sedang berkembang ke negara-negara maju pemberi preferensi. Adapun tujuan dari pemberian GSP ini adalah untuk meningkatkan devisa, mempercepat industrialisasi dan pertumbuhan negara-negara sedang berkembang dengan memberikan dan membuka peluang untuk memasarkan barang-barang yang dihasilkannya, sehingga barang-barang tersebut dapat bersaing di pasaran negara-negara maju. Pertimbangan yang mendasari pengecualian kepada negara-negara berkembang adalah untuk memberikan akses lebih besar di pasar negara-negara maju, yang pada gilirannya dapat memajukan pembangunan ekonomi dan industri negara-negara berkembang. GSP dibentuk dalam rangka UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) yang merupakan lembaga di bawah bendera PBB yang membidangi perdagangan dan pembangunan.




Penutup

Dalam era perdagangan bebas ini, walaupun hambatan perdagangan dalam bentuk tariff secara bertahap dikurangi oleh negara-negara anggota WTO, sesuai dengan kesepakatan di dalam GATT, akan tetapi berbagai jenis bentuk hambatan non-tarif telah menjadi kendala dalam kelancaran perdagangan antar negara di dunia.

Dewasa ini, dengan makin diturunkannya tarif untuk berbagai jenis produk dalam perdagangan antar negara, terdapat kecenderungan dari berbagai negara untuk menggunakan hambatan non-tarif di dalam memproteksi negaranya. Hal tersebut menyebabkan pencapaian kesepakatan WTO untuk melaksanakan perdagangan bebas demi tercapainya kemakmuran negara anggotanya menjadi terkendala.

Daftar Bacaan


APEC. 1997. The Impact of Trade Liberalization in APEC. Economic Committee of APEC, APEC Secretary, Singapore.

Bain, G. 2001. Uruguay Round dan Sistem Perdagangan Masa Depan. Penerbit Djambatan, Jakarta.

Ball, D.A. et al. 2007. International Business. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Budiono. 1994. Ekonomi Internasional. BPFE, Yogyakarta.

Cateora, P.R. 1996. International Marketing. Richard D. Irwin, Chivago.

Feenstra, R.C. 2004. Advanced International Trade : Theory and Evidence. Princenton University Press, Princenton.

Griffin, R.W. dan M.W. Pustay. 2005. Bisnis Internasional. PT Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.

Halwani, R.H. 2002. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hill, C.W.L. 1997. International Business Competing in the Global Marketplace. Irwin McGraw-Hill, Boston.

James, H. 2001. The End of Globalization. Lesson from the Great Depression. Harvard University Press, Cambridge Mass.

Kartadjoemena, H.S. 1996. GATT dan WTO. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Nopirin. 1988. Ekonomi Internasional. Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Salvatore, D. 1994. Ekonomi Internasional. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Setiawati, H. dan G. Amier. 2007. “Kerja sama perdagangan multilateral”, dalam S.Arifin, D.E. Rae dan C.P.R. Joseph (Eds), Kerja Sama Perdagangan Internasional Peluang dan Tantangan Bagi Indonesia. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Suleiman, M.A. 2008. ”Isi-isu kehutanan dalam perdagangan internasional”.  http : //artikelhukum.blogspot.com/2008/06/isu-isu-keghutanan-dalam

Tambunan, T.T.H. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional.  Ghalia Indonesia, jakarta.

WTO. The Multilateral Trading System : Past, Present and Future. http//www.wto.org.

WTO. Understanding the WTO. http//www.wto org


Comments